May 28 2021


Pemerintah (majikan) dan pegawai (buruh)

Dalam era modern saat ini rupanya image bahwa majikan itu berkuasa atas buruhnya belumlah hilang. Majikan semena-mena kepada bawahan atau anakbuahnya masih sering dijumpai, dan untuk sebagian masih dibiarkan, diterima atau dipahami oleh masyarakat. Padahal ini harusnya tidak terjadi lagi, sebab “modern” sejauh ini dimaknai sebagai civilized, beradab, madani, manusiawi.

Memang pada perusahaan swasta, apalagi swasta kecil atau UMKM, kita masih dapat menerima jika buruh tiba-tiba dipecat oleh majikannya, karena perusahaan itu bangkrut. Kita tidak bisa mengatakan hal ini semana-mena. Tapi untuk kasus perusahaan besar, pemecatan-seketika meskipun karena perusahaan bangkrut tidaklah dapat diterima. Karena pastilah ada aturan atau perjanjian-kerja sebelumnya antara buruh dan majikan jika terjadi kondisi buruk seperti itu, apa yang harus dilakan oleh kedua pihak. Jadi dalam tatanan modern (yg beradab), perilaku majikan

(dan sebaliknya juga buruh) mestilah patuh pada aturan atau perjanjian atau kesepakatan. Ketidakpatuhan terhadap aturan (baca: kesepakatan, perjanjian!) tanpa alasan yang sah adalah tindakan semena-mena, zalim.

Sayangnya idealita seperti itu tidak berlangsung di semua kondisi. Bahkan di dalam suatu negara (yang harusnya lebih “modern” dibanding perubahaan besar manapun di dalamnya wilayahnya), pemerintahnya bisa jadi lebih zalim kepada para pegawainya sendiri dibandingkan para direktur perusahaan kepada karyawan/buruh mereka. Kezaliman (atau –yang lebih halus– ketidakadilan) yang tidak kentara terlihat dalam hal penggajian dan promosi jabatan.

Pertama, gaji pegawai. Sama-sama sarjana S1, gaji anda di Kementerian Keuangan akan lebih tinggi dibandingkan di kementerian lain. Tanpa menyebut angka, hal ini sudah jamak dirasakan oleh para pegawai. Memang mungkin pekerjaan di Kemenkeu terkesan berat, harus sering lembur; tetapi para pegawai di instansi lain tidak jarang merasakan ketidakadilan: Memangnya hanya mereka yang berjasa kepada negara? Tanpa kami, tidak ada pelayanan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Mengapa mereka yang memegang uang memperoleh jauh lebih banyak gaji daripada mereka yang memberikan layanan langsung kepada masyarakat?

Ketimpangan, dan kemudian kecemburuan dan rasa terzalimi, ini tidak hanya terjadi antar kementeriaan, tapi juga antar daerah (dhi. pegawai Pemprof DKI yang dicemburui karena sangat tinggi gajinya) ataupun antar instansi dalam daerah yang sama (ada instansi “basah”, ada yang “kering”).[1]

Kedua, promosi jabatan. Contohnya pada dosen: aturan berubah dari waktu ke waktu, semakin berat, dan terkesan menzalimi dosen senior.  Bisa dipahami dan diterima, bahwa pemerintah ingin dosen menjadi semakin berkualitas dari waktu ke waktu, dan untuk itu syarat kepangkatan semakin ketat. Tapi: (1) apakah syarat itu memang benar-benar menjamin kualitas, dan (2) apakah indikator kualitas itu? Sementara dari perspektif kepegawaian (yang adil), syarat kenaikan pangkat itu harusnya berlaku bagi pegawai baru yang sedang masuk saat itu. Aturan kepegawaian tahun 2015 harusnya berlaku bagi pegawai yang memulai karir pada 2015, dan tidak boleh diterapkan bagi pegawai lama, jika aturan baru ini merugikan/memberatkan pegawai lama tersebut.

Aturan yang dibuat sepihak oleh pemerintah, dan berlaku saat itu juga bagi pegawai lama dan baru adalah tindakan yang semena-mena. Mestinya dosen yang memulai karir pada 1995 ya diberlakukan aturan (baca: perjanjian kerja!) yang berlaku pada tahun 1995 itu. Aturan ini harus diberlakukan baginya hingga dia pensiun, kecuali kedua pihak menyepakati aturan baru. Jadi, kalau pada 2015, misalnya, seorang dosen harusnya sudah diangkat menjadi lektor kepala (berdasar aturan 1995 itu), maka jangan ditunda kenaikan pangkatnya ini karena ada aturan baru pada 2015 yang mengharuskan lektor kepala bergelar doktor atau memiliki publikasi di jurnal yang terindex oleh organisasi asing Scopus, misalnya.[2] Ibarat orang yang mengikuti lomba lari, ketika dia hampir finish tiba-tiba garis finishnya digeser ke depan oleh panitia secara sepihak. Peserta itu itu berlari lagi, dan garis finishnya digeser. Demikian seterusnya hingga si peserta lempoh dan pingsan sebelum mencapai finish! Sangat tidak fair! Yang lebih kejam lagi adalah ini: Seorang dosen mengirim artikel ke jurnal yang terindeks Scopus, namun dimuat pada edisi ketika jurnal itu –karena suatu alasan–  tidak lagi terindeks, dan ini tidak diakui oleh pemerintah! Betapa sadisnya. Lebih gila lagi situasinya: Dosen (dan bahkan pemerintah sendiri) baru tahu bahwa jurnal itu tidak lagi terindeks pada saat pemerintah melakukan penilaian pangkat dosen itu, beberapa bulan setelah jurnal itu tidak terindeks!

Masih dalam ranah ini, entah tahun berapa (2010-an?), pemerintah memberlakukan aturan baru pada saat itu: Dosen yang hanya bergelar S1 tidak boleh mengajar S1, dan dosen yang hanya bergelar S2 tidak boleh mengajar S2. Mereka tidak dipecat, tapi dialihkan menjadi karyawan kantor. Akibatnya beberapa dosen senior tiba-tiba saja tidak memperoleh jam pengajar, “dikotakkan” ke meja tata-usaha. Aturan ini terlihat logis, yakni untuk meningkatkan kualitas kuliah, tapi sebenarnya mengandung kesalahan: kualitas mengajar hanya dinilai dari atau ditentukan oleh gelar, dan menafikan pengalaman kerja. Padahal pengalaman kerja adalah faktor penentu kualitas kerja yang bahkan seringkali lebih penting daripada ijazah! Alangkah simplifistiknya kebijakan ini, apatah lagi berlangsung di dunia akademik!

Perasaan terzalimi pada dua atau tiga contoh tersebut di atas sepertinya sudah lama melanda para pegawai kita. Dan pastilah perasaan teraniaya yang teramat sangat dirasakan oleh 75 pegawai KPK yang baru-baru ini “diminta menyerahkan tugasnya kepada atasan-langsung” ataupun yang “diberhentikan”.[3]

Apa jadinya negara jika pemerintahnya (yang harusnya modern) ternyata zalim, tidak adil, tidak profesional seperti itu? Kinerja pegawai akan berlepotan, keinginan untuk menciptakan “birokrasi kelas dunia yang berdaya-saing tinggi” tidak akan pernah terwujud. Pegawai akan kehilangan komitmen dan semangat kerja, bersikap masa bodoh, dan kinerja pelayanan publik akan menurun. Bukan tidak mungkin pegawai akan melakukan pemogokan sebagaimana sering terjadi di perusahaan swasta. Pegawai negeri di beberapa negara teracatat pernah melakukan pemogokan: di Inggris tahun 2006,[4] Afrika Selatan 2010[5], Perancis 2019[6] dan baru-baru ini –untuk alasan yang berbeda–  di Myanmar.[7]

Tugas bagi MenPAN, BKN dan instansi sejenis  adalah selain harus memikirkan peningkatkan kinerja para pegawai (termasuk pemberantasan korupsi) itu, di lain pihak –justru dalam rangka itu– harus memikirkan perlakukan yang adil dan beradab (manusiawi) kepada para pegawai negara. Presiden dan Mensesneg juga turut bertanggungjawab dalam hal ini. Demikian pula para politisi pejabat negara anggota DPR, khususnya mereka yang duduk di Komisi II.

Pemerintah (baca: pengurus negara) yang tidak adil dan tidak manuawi patut dipertanyakan (dan dipersoalkan) wawasan kebangsaannya. Lebih dari itu: ke-Pancasila-annya! **


[1] Lihat https://www.cnbcindonesia.com/news/20210104151201-4-213371/ini-gaji-pns-jebolan-s1-saat-awal-masuk-kerja; juga https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2118997/gaji-pns-antar-kementerian-berbeda-beda-picu-kecemburuan-sosial.

[2] Lihat https://www.republika.co.id/berita/odhco76/profesor-scopus-dan-alternatif; juga https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01293847/2748-profesor-tak-penuhi-syarat-420001.

[3] Lihat https://nasional.kompas.com/read/2021/05/28/05310031/ironi-kpk-ingin-membina-koruptor-tetapi-menendang-pegawai-andalan?page=all dan https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210528073926-12-647698/kartu-mati-pelemahan-kpk-radikalisme-taliban-nilai-merah.

[4] Lihat https://www.liputan6.com/global/read/120166/pegawai-pemerintah-di-inggris-mogok-kerja?page=1.

[5] Lihat https://www.dw.com/id/pegawai-negeri-afsel-kembali-lakukan-pemogokan/a-5924817.

[6] Lihat https://www.republika.co.id/berita/q21c8b9015000/turis-di-prancis-diminta-menjauhi-menara-eiffel.

[7] Lihat https://news.detik.com/internasional/d-5473866/lumpuhnya-militer-myanmar-saat-pns-mogok-kerja.

Comments Off on Pemerintah (majikan) dan pegawai (buruh)