Feb 24 2024


Refleksi pemilu 2024

Filed under Government,Power

1. Setelah chatting cukup panas di WAG AsIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara, https://asian.or.id/), beberapa orang hadir berbincang, sarasehan di zoom pada Selasa 20 Februari 2024 malam. Yang hadir dan berbicara adalah Melkisedek (UNDANA), Argo (UNY), Budiman (UNSA), Suprapti (STIAMI), Dewi (UNISA), Ambar (UGM) dan saya sendiri serta 3-5 orang yg datang mengintip sekejap. Beberapa orang yang diharapkan hadir, karena aktif di chat, malah tidak hadir. Sibuk, sedang pusing, gak ada sinyal atau cari aman/nyaman? J

Berikut ini renungan saya sesudah zoom yg memberikan banyak pengetahuan dan perspektif tersebut.

2. Sebenarnya rakyat Indonesia sudah cukup berpengalaman dengan  pemilu demokratis sejak 2004. Mereka sudah bisa siap untuk kalah, siap untuk menang. Buktinya kampanye kemarin aman, tidak ada gontok-gontokan antar partai, bahkan tidak ada konvoi kendaraan yang riuh memekakkan telinga seperti pada era 1990an. Rasanya semua orang sudah sadar tahu apa itu pemilu. Siapapun yang jadi kita terima, toh –mungkin begitu pikiran kebanyak kita–  siapapun pemerintah, kita akan tetap begini-begini saja. Kalaupun ada perubahan ya sedikit saja. Kalaupun akan menderita, ya semua menderita.

Tapi kegeraman muncul, ketika secara kontradiktif kubu Jokowi berusaha mati-matian memenangkan pilpres ini. Tanpa memegang bukti konkrit, hanya dari koran, TV dan medos, kita merasakan atau merasa tahu, bahwa Jokowi telah menggunakan segala cara untuk menggoalkan
Bogib (Prabowo-Gibran): MK, ASN, gubernur-bupati-walikota (ratusan!) dan bansos.

3. Semua bermula dari Gibran, dan sebelumnya pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik Jokowi. Pernikahan itu sendiri sudah dipersoalkan pada saat kejadian (Mei 2022). Beberapa orang telah mendorong agar Usman mundur dari MK, karena akan terjadi conflict of interest dalam statusnya sebagai pengadil/pengawas presiden. Tapi usulan hanyalah usulan, hilang tertiup angin.

Lalu Gibran. Anak ini “ngedap-edapi”: (a) Mendaftar jadi calon walikota via PDIP pada injury time, ketika DPC sudah memproses calonnya yg telah berkarir lama dari bawah. Tapi Ketum PDIP punya hak prerogatif mengijinkannya, dan menang mutlak. (b) Memperoleh banyak sekali proyek pengembangan Solo. (c) Mencalonkan diri jadi cawapres setelah MK membolehkan orang yang belum memenuhi syarat umur untuk maju, asal pernah/sedang menjabat kepala daerah.

Sudah mulai banyak yang protes. Tapi protes tinggal protes, hilang lenyap tertelan malam. Atau protesnya belum cukup keras. Orang masih pedhe pada calon mereka, dan meremehkan si  anak kecil yang ingusan dan plonga-plongo.

4. Dan sayangnya Jimly cs sebagai MKMK tidak membatalkan keputusan Usman itu. Alasannya keputusan MK adalah final, dan MKMK hanya berwenang mengadili prosesnya. Alasan yang bagi saya sangat tidak masuk akal. Kalau memang prosesnya melanggar etik, ya harusnya produknya itu ditolak. Dibatalkan atau batal demi hukum! Tapi tidak. Dia membiarkan api menyala. Usman hanya diturunkan dari kursi ketua MK, tidak dikeluarkan. Belakangan baru saya tahu, bahwa Jimly pernah menyatakan dukungan kepada Prabowo, dan anaknya caleg Gerindra!! (Taek!! [Emha] Assyuwok!! [Buthet])

5. Jadilah Bogib melambung, menurut QC. Suara Jokowi menumpuk ke sana (57%), hanya menyisakan sedikit ke Gama (Ganja-Mahfud) (17%). Sementara Amin tetap di kisaran 27%. Konsisten dengan angka kepuasan terhadap Jokowi di kisaran 70-80%. Tapi partai pengusung Bogib akan dapat kursi  50% kurang sedikit, sedang Amin plus Gama 50% lebih sedikit. Ini tidak banyak berubah dari posisi awal. Artinya, rakyat kita bisa saja memilih Bogib (entah sukarela-jujur atau terpaksa-takut –dengan alasan apapun) tapi tetap setia dengan partai/caleg masing-masing.

6. Apa mau dikata? Teriakan puluhan atau ratusan komunitas peduli demokrasi di berbagai kampus seperti gak ngaruh. Karena politik uang, bansos dan intimidasi…? Beberapa rektor PTN mengklaim bahwa mereka hanyalah gerombolan, tidak mewakili suara kampus. (Memang para rektor itu orangnya presiden!!)

Kemenangan Bogib nanti akan sah secara hukum, tapi cacat moral/etik dan karena itu tidak legimate secara sosial-politik? Tapi siapa yang menentukan legitimasi ini? Kapan..? Jika setelahnya rakyat tenang2 saja… gimana hayo..?

7. Pada 2024 ini Jokowi memang sangat pede. Dia telah sukses jadi walikota dua kali, lalu jadi gubernur separuh waktu, lalu presiden dua kali. Rakyat puas hingga 60-80%. Semua partai di parlemen mendukungnya, kecuali PKS dan Demokrat. Artinya 90% anggota DPR pro Jokowi (?). Maka dengan mudah UU apapun akan disahkan oleh DPR. Jokowi bak diktator yang bisa berbuat apa saja.

Jokowi sangat yakin bahwa apa yang dilakukannya saat ini benar, dan harus dilanjutkan. Dalam sebuah tayangan TV atau medsos (2023 awal?) dia berkata: “Kita membangun jangan sampai turun kelas. Mosok saat ini sudah SMA besok mau turun jadi SMP..”

Harus berlanjut! Dan ini didukung rakyat. Dan karenanya capres yang menawarkan perubahan akan kalah –hanya 27%.

8. Boleh saja menang. Tapi mbokyao jangan curang. Boleh saja curang (amit-amit). Money politics, uang transport, sedekah, serangan fajar seperti sudah membudaya, dan Bawaslu tak berdaya. Semua pelaku politik mengakui bahwa untuk menang butuh logistik yang besar, kecuali satu-dua orang yang bisa secara gratis duduk di parlemen (seperti Komeng). Tapi jangan sebegitunya! Mengakali aturan, mengerahkan aparat, mendaku dana negara sebagai dana pribadi, meminta 260an penjabat kepala daerah “mengkondisikan” situasi.

Protes para dosen dan mahasiswa akan terus berlanjut. Memang mungkin saja telat. Harusnya sejak awal, ketika Usman jadi paman Gibran, setidaknya ketika paman itu meloloskan ponakannya jadi cawapres. Itu memang kita sesali. Tapi rumah sudah terbakar. Dan ini harus dipadamkan.

Lawan..!! [Widji]

**

Comments Off on Refleksi pemilu 2024