Jul 06 2020


What is the meaning of “daerah”?

[In response to https://www.facebook.com/hanif.nurcholis2/posts/3262609903855044.]

Saya belum tahu bagaimana di negara lain, tapi di Indonesia (dhi. di sekitar Klaten dan Sleman) yg saya pahami “daerah” bisa berarti macam-macam: provinsi, kabupaten maupun kota, kecamatan, desa maupun kelurahan, dusun, RW dan RT. Jadi mendengar orang berkata “pemerintah daerah”, saya jadi senewen dan uring-uringan: daerah yg mana…? Provinsi atau kabupaten atau apa/mana…?

Banyak daerah di Indonesia sekakrang ini sebenarnya dahulu adalah negara[1]: Jogja, Solo, Cirebon, Banten, Minang, Riau, Deli, Kutai, Bulungan, Makassar, Gowa, Ternate, Tidore. Gianyar, Buleleng dll. Konon semuanya berjumlah 299an buah! Semuanya berbentuk monarkhie (kerajaan atau kesultanan) –sistem pemerintahan/politik/administrasi/negara yang “kepala negara”nya turun-temurun. Selain/karena turun-temurun, beberapa “kepala negara” tersebut tidak sedikit yang berhubungan-keluarga: anak-bapak, saudara kanduang, keponakan, menantu-mertua, besan.

Bagaimana negara-negara terbentuk? [Bacalah buku “Negara-negara di Nusantara” terbitan Gamapress tahun 2001. Ringkasnya –menurut pemahaman/bayangan saya:] Nusantara ini dulunya hutan semua, dan Sumatera, Jawa, Kalimantan dll. adalah sebuah daratan, yg kemudian sekian juta tahun lalu terpisah oleh lautan. Semula adalah belantara gung-liwang-liwung. Dan mulai tahun sekian ada/datanglah manusia. Tidak perlu dibahas darimana dan bagaimana mereka datang. Pokoknya di banyak lokasi di Sumatera, Jawa dll. itu terhimpun beberapa kelompok manusia –umumnya di pinggir sungai dan laut.

Di dalam setiap kelompok ini muncullah/terpilihlah pemimpin-pemimpin. Ada pemimpin kecil untuk wilayah kecil/sempit, ada pemimpin besar untuk wilayah besar/luas. Para pemimpin kecil tunduk pada pemimpin besar. Wilayah kekuasaan dari pemimpin besar inilah yg dapat disebut sebagai negara. Semua orang di dalam wilayah itu patuh pada pemimpin besar, dan orang dari luar wilayah tsb juga mengakui adanya pemimpin besar itu. Inilah negara.

Bagaimana pemimpin itu memimpin dan kemudian bagaimana dia diganti, sepertinya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Tapi saya yakin pada umumnya seorang pemimpin yang akan mati atau mau lengser akan menunjuk anak, suadara kandung atau keponakan –atau siapapun orang dekat yg disukainya–  untuk meneruskan kepemimpinannya. Pastinya di beberapa tempat ada yg melakukan musyawarah ataupun pemilihan, tapi sepertinya pada umumnya dengan diturunkan (dilungsurkan) ke orang yg ditunjuknya itu. Jadilah negara-negara itu berbentuk kerajaan (monarchie), bukan republik.

Jadinya seorang raja, ya itulah kepala negara, pada dasarnya seorang kepala keluarga biasa, tapi punya wilayah/tanah yg sangat luas, punya pembantu (asisten rumah tangga) yang sangat banyak dan orang-orang lain (liyan) yg tinggal dan mencari penghidupan di atas tanah/wilayahnya itu yg harus membayar pajak, sewa atau upeti kepadanya setiap tahun atau setiap kali panen (ya inilah penduduk). Selain melungsurkan posisinya kepada keturunan atau familinya, seorang raja bisa juga membagi sebagian tanahnya untuk keturunannya itu. Jadi dia tetap raja-besar, tapi di tempat lain ada familinya yg menjadi raja-kecil. Raja-raja kecil tunduk kepada raja-besar, membantu keamanan negara raja-besar, membayar upeti atau hadiah secara teratur. Jadi ada negara besar, ada negara kecil.

Namun ada kalanya raja kecil ingin menjadi raja besar juga. Maka dia merebut kursi raja besar atau meluaskan tanah/wilayahnya, sehingga di menjadi raja besar di samping raja besar yg semula. Perebutan kekuasaan, peperangan adalah cerita normal setiap kali kita berbicara negara –dan politik.

Seperti itulah, saudara-saudara, pertumbuhan negara-negara di Nusantara. Dari Tarumanegara, Kutai, Sriwijaya, Majapahit, Demak dan masa-masa sebelum dan sesudahnya.

Hingga suatu saat datanglah orang Eropa berdagang dengan/di negara-negara besar dan kecil di wilayah Nusantara itu (1600an). Setelah berdagang, lama-lama mereka berhasil mendikte para raja itu, menundukkan dan menguasai para raja itu. Jadilah negara-negara itu “hilang”, dijadikan “daerah” saja oleh negara super besar yang baru terbentuk bernama Hindia Belanda (1811?). Para raja itu tidak lagi berkuasa sepenuhnya kepada penduduk mereka, dan mereka juga tidak berdaulat lagi ketika berhubungan dengan negara lain. Semuanya dikontrol, atau minimal harus dilaporkan, kepada pemerintah Hindia Belanda (yg duduk di Jakarta ataupun melalui pegawai-pegawai mereka di lokasi –residen, asisten residen ataupun controlleur).

Apakah negara-kerajaan yg sekarang menjadi “daerah” (sekali lagi, ada yg besar, ada yg kecil) itu memiliki otonomi? Ya iya lah sudah pasti. Pemerintah HB tidak sanggup mengontrol sepenuhnya ataupun melayani (istilah yg sangat mewah) penduduk di seluruh wilayahnya. Dia biarkan para raja itu bertindak seperti sediakala, hanya mereka harus membayar pajak kepada HB dan mengikuti semua arahan dan instruksinya. Jadi daerah itu otonom full, tapi harus melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu dalam hal-hal yg ditentukan oleh pusat. That is it.

HB itu kemudian menjadi RI sejak 1945.

*

Apa artinya menjadi RI bagi daerah? Mengapa kita lalu mempersoalkan desentralisasi, dekonsentrasi, medebewind? Kenapa pula orang ribut soal rekognisi, rechtsgemeenchapen, otonomi..? Local government dan local state government dan state local government yg membingungkan..? Self governing community? Gemeinschaft atau Gesselschaft..?

Kenapa tidak ini saja sekalian:

Kenapa, misalnya, ketika HB lempoh pada 1945 negara-negara-besar dan negara-negara-kecil yg telah menjadi daerah di bawah kontrol HB itu tidak kembali menjadi negara-besar dan -kecil biasa dan normal lagi (merdeka, berdaulat) seperti sediakala?

Ayo kemon…! ?

**


[1] Negara adalah suatu sistem sosial yg berisi sekumpulan orang yg diam di suatu wilayah, punya pemerintah (lebih tepat: pengurus!) yg memiliki kedaulatan (:diakui dan diperlakukan oleh pengurus negara lain sebagai negara –yg terhormat).

Comments Off on What is the meaning of “daerah”?