Jul 10 2020
Desa
[In response to https://www.facebook.com/hanif.nurcholis2/posts/3276305015818866, 7 Juli 2020.]
Desa ditulis sebagai buku top oleh sejarawan/antropolog Koentjaraningrat dan Sartono Kartodirdjo. Sepertinya juga oleh sosiolog Sajogjo dan –dengan perspektif ekonomi– antropolog Masri Singarimbun. Tahun 1980an saya pernah melihat dan memegang buku-buku mereka –lupa, sudah membaca atau belum… ?
Sebagai sarjana administrasi negara, ingin sekali sy menjadi lurah atau camat atau bupati ca. 1-2 tahun saja, lalu menulis buku rinci detil seperti buku-buku tadi. Tebal 1000-2000 halaman seperti buku Max Weber. Yg eksploratif imajinatif inspiratif tentang pengurusan/pengelolaan/penataan (ya itulah administrasi) sistem desa, kecamatan atau kabupaten itu. (Sekiranya Mendagri memberikan kesempatan kepada saya untuk duduk sebagai pejabat seperti ini… sungguh akan sangat luar biasa… di sudut hutan belantara Sumatera atau Kalimantan juga oke… ?)
*
Desa yg saya pahami adalah sbb. (Ini dilambari pengalaman tinggal di Desa-desa Jebugan, Semangkak dan Barenglor di Kabupaten Klaten dan di Sariharjo dan Sinduadi di Kabupaten Sleman –semuanya di pinggir kota, sudah mengkota dan lebih modern dibanding desa pada umumnya–, tapi tidak sepenuhnya cerita tentang mereka. Sy juga pernah tinggal selama dua bulan KKN di Desa Mriyan, Kab. Boyolali.) (Bahasanya campuran saja, tanpa huruf miring biar mengalir…)
Dalam bentuk paling ideal, desa (di Jawa) adalah serumpun pemukiman di suatu tempat yg dikitari oleh persawahan sebagai lahan penghidupan warganya. Ada sungai yg mengalir di sela kampung itu dan persawahannya, dan di nun kejauhan terlihat gunung biru menjulang tinggi. Kerbau, bebek, ayam, kambing dan padi. Dan suara kotekan lesung, dan bau harum tembakau dan legitnya tebu. Dan lumpur belut.
Di seberang, berjarak 2-3 km, terdapat desa-desa tetangga. Dengan pemandangan dan suasana yg sama.
Apa yg salah dengan itu? Tidak ada. Adhem ayem ayom, toto titi tentrem kerto raharjo, thukul kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku, gemah ripah loh jinawi, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur… ?
Mereka mengurus dirinya sendiri secara full otonom. Apa yg salah? Tidak ada.
Memang ada hal-hal yg harus dipenuhi dengan bantuan masyarakat luas dan pemerintah (: pengurus masyarakat) yg lebih tinggi. SD mereka dibangun dan diurus oleh Kantor Kecamatan maupun oleh Cabang-/Sub-Dinas Dikbud. Bidannya adalah pegawai puskesmas di kota kecamatan yg tinggal di desa itu. Anak-anak remaja sekolah di SMP dan SMA di kota, kuliah di luar kota atau luar pulau atau luar negara.
Sertifikat tanah para penduduknya dibuat oleh BPN via Kecamatan. KTP pun dibuat Kantor Kecamatan (sekarang oleh Disdukcapil). Legalisir KTP dan KK juga ke Kantor Kecamatan atau Disdukcapil. Saluran irigasi dibuat oleh DPU (?).
Apakah tidak ada yg dikerjakan oleh Pemerintah (:Pengurus!) Desa? Ada! Mereka punya uang, pak lurah dan perangkatnya memperoleh tanah lungguh. Dan sekarang mereka punya sekitar 1 milyard untuk dibelanjakan. Membangun gapura, balai desa, mengaspal jalan dsb. Pak lurah memimpin upacara kematian. Perangkat yg pandai membaca al Quran merangkap jadi modin. Karangtaruna mengolah alam mereka jadi destinasi wisata. Dan Bumdes. Koperasi, PKK.
Pak lurah, dibantu ulu-ulu, menggilir pengairan sawah warganya pada musim kemarau. Menggerakkan gotong-royong membangun jalan. Mengumumkan adanya lowongan kerja di kota-kota besar, mengumpulka ibu-ibu dan lansia dan balita untuk imunisasi, dsb.
Pemerintah desa ada, punya fungsi dan punya dana.
Memang untuk pengurusan dokumen kewarganegaraan (KTP, akta tanah, surat nikah, akta kelahiran, SIM dll.), posisi mereka terkesan birokratis dan berlebihan. Kenapa warga tidak dipersilakan langsung saja mengurus dokumen itu ke Kantor Kecamatan atau ke BPN atau ke Disdukcapil atau kantor Polres? Kenapa harus lewat (sepengetahuan) lurah? Dalam hal ini saya setuju dihapus saja, meskipun bisa dipahami apa maksud dari birokratisme ini: agar tidak ada penipuan oleh warga terhadap (pemerintah) negara. Ketika anda membuat KTP di Disdukcapil, instansi ini minta surat keterangan (pengantar) dari Kantor Kecamatan, yg pada gilirannya dari pak Lurah, yg pada gilirannya dari pak Dukuh, pak RW dan pak RT (semua bisa juga ibu). Ini semua agar Disdukcapil yakin bahwa anda memang benar-benar tinggal di alamat yg disebut di KTP. Rasanya ini agak berlebihan. Kenapa tidak langsung ke Dukcapil saja? Bukankah dengan adanya birokrasi dari RT hingga camat itu tetap saja ada kasus KTP palsu..? Atau asli tapi palsu…? Yah…bisa juga sebaliknya: wong dengan kontrol berlapis seperti itu bisa terjadi pemalsuan kok, apalagi langsung ke Dukcapil…
Atau sebaliknya: tidak dihapus, tapi malah diberi fungsi-akhir saja: membuat KTP, surat nikah dan akta lahir, misalnya, cukup oleh pak lurah, tidak pak camat apalagi pak Dukcapil. Jadi apa yg dibutuhkan warga dari Dukcapil dilimpahkan saja sepenuhnya kepada lurah. Sementara surat lain seperti akta tanah dan SIM langsung oleh BPN dan kantor Polres, tak perlu lewat lurah.
Ringkasnya: fungsi lurah sebagai pembuat surat keterangan atau surat pengantar dihapus saja. Ini birokratis, menghambat proses.
Tapi, apakah memang tidak perlu surat keterangan dari lurah itu..? Atau: Mengapa surat keterangan dari lurah itu harus diminta oleh instansi2 kabupaten ataupun negara? Ya itu tadi: agar pemkab atau pemneg merasa aman dan nyaman: bahwa orang yg datang kepadanya adalah memang orang yg benar2 tinggal di desa yg diakunya. Tidak bisakah ini dihilangkan? Bisa saja. Tapi ya itu tadi: pemkab atau pemneg merasa tidak aman. Dan keamanan itu mahal harganya. Pilih aman atau pilih cepat? Tentu orang akan pilih aman. Bisakah cepat dan/tapi aman? Bisa saja. Silakan para ahli IT membuat aplikasi yg menjamin hal ini. Monggo kaum milenial… (tapi jangan kadal nakal… ☹)
*
Tapi rasanya lurah tetap perlu ada. Kalau anda jadi kepala Dinsos yg mau membagi BLT, anda pun –lagi-lagi– akan merasa aman jika melibatkan lurah. Lurah relatif mengenal warganya (meskipun tidak bisa satu per satu di antara 1.000 – 5.000 KK), sedang Dinsos tidak. Bagaimana mungkin Dinsos bisa mengenali dan mengendalikan, katakanlah, 300 KK miskin jika tanpa lurah? Ini baru satu desa. Jika 100 desa gimana…? Jumlah personil Dinsos terlalu sedikit dibandingkan jumlah orang miskin yg harus mereka layani. Bisa saja tanpa lurah. BLT ditransfer saja langsung ke rekening tiap KK miskin itu.
Yes! Kenapa tidak? Kenapa pemneg tidak/belum melakukannya ya? Kenapa beberapa gubernur, misalnya, dalam kasus Corona kemarin itu memilih membagikan sembako ke warga..? Kenapa tidak uang saja langsung ke rekening ybs..? Agar warga tidak perlu pergi ke toko/pasar untuk membeli sembako? Agar tidak perlu berinteraksi dengan orang lain yg berisiko corona…? Entahlah…
*
Kenapa data yg dipegang Dinsos beda dengan keadaan riil (data yg dipegang lurah)? Kenapa ada orang kaya yg tercatat sebagai miskin oleh Dinsos..?
Ini kiranya teknis saja. Data Dinsos mungkin tidak update, sudah dibuat lima tahun lalu. Harusnya Dinsos meminta data dari lurah dulu, baru membagi BLT. Mengapa ini tidak dilakukan…? Entahlah… Kalau Dukcapil percaya pada lurah, bahwa si A yg datang kepadanya minta KTP itu adalah benar2 warga desa dari lurah itu, harusnya Dinsos pun percaya terhadap data orang miskin yg disodorkan lurah. Bahwa ternyata Dinsos ujug2 membagi BLT tanpa minta data dari lurah…entahlah apa yg sedang terjadi dalam birokrasi Kemensos. Panik oleh Corona…? Sengaja dibuat kusut, agar ada dana yg bisa dicatut…? Entahlah…
*
Jadi: mari kita telisik satu per satu: apa saja yg dikerjakan oleh lurah setiap harinya? Apakah tindakan itu perlu, penting dan urgent? Jika tidak, hapus saja. Dan jika ditemukan bahwa hampir semua tindakan lurah itu tidak diperlukan, ya hapus saja organisasi pemerintah desa itu…
Intinya adalah reformasi, reorganisasi atau restrukturisasi instansi/birokrasi pemerintah. Berangkatnya dari warga: Apa saja yg dibutuhkan warga dari pemerintah? Siapa dan bagaimana kebutuhan itu harus disediakan oleh instansi pemerintah (kapan, bersama siapa dsb.)??
Back to basic, zero-based organizational/bureucratic reform: Jika saat ini tidak ada pengurus negara, maka organisasi pengelolaan negara seperti yg sebaiknya disediakan bagi seluruh warga? Perlukah RT, RW, dusun, desa, kecamatan? Mana yg lebih diperlukan: kabupaten/kota atau provinsi? Dinas apa saja yg perlu dibentuk? Kementeriaan apa saja yg dibutuhkan masyarakat?
Juga: kalau memang kabupaten perlu ada, perlukah bupati? Tidak cukupkah tiap kecamatan memilih satu orang wakil untuk duduk di Dewan Kabupaten –yg membuat rencana dan keputusan dan peraturan, lalu menyuruh seorang manajer handal untuk mengeksekusi itu semua, lalu mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaannya….?
And beyond… ?
**
Comments Off on Desa