Nov 07 2024
Tragedi para khalifah pertama
Proses meninggalnya para khalifah Islam sejak Umar bin Khattab tahun 644 dan khalifah lain sesudahnya merupakan peristiwa penting yang mengubah arah sejarah, dan memberikan pelajaran berharga bagi ummat manusia.
1. Khalifah Abu Bakar
Khalifah pertama, Abu Bakar as-Siddiq, wafat pada tahun 634 M. Beliau meninggal secara wajar setelah sakit pada umur 63 tahun. Sebelum meninggal, beliau sempat mengusulkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya, memastikan kelanjutan kepemimpinan Negara Madinah. Dalam masa kepemimpinannya yang hanya 2-3 tahun, Abu Bakar berhasil menghadapi berbagai tantangan, termasuk perang Ridda yang mengancam stabilitas negara.
2. Khalifah Umar bin Khattab
Umar bin Khattab, khalifah kedua, mengalami nasib tragis saat dibunuh oleh seorang budak Persia bernama Abu Lu’lu’ah (Firuz) pada tahun 644 M. Saat itu, Umar sedang memimpin shalat di masjid. Kematian Umar yang sangat mendadak dan kejam mengguncang masyarakat. Sebelum wafat, Umar telah melaksanakan banyak reformasi yang membawa kemajuan besar bagi Negara Madinah dan memperluas wilayahnya.
Ada beberapa alasan yang diyakini dapat menjelaskan tindakan pembunuhan tersebut:
- Motif pribadi: Abu Luluah adalah budak dari seorang sahabat Umar. Dia merasa tertekan dan tidak puas dengan perlakuan yang diterimanya sebagai seorang budak, serta beban kerja yang diberikan padanya. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Luluah merasa tidak diperlakukan dengan adil atau terlalu dipaksa dalam pekerjaannya, dan hal ini memicu perasaan dendam terhadap Umar.
- Kebencian Terhadap Kekuasaan Islam: Abu Luluah diyakini berasal dari Persia dan dia mungkin merasa marah atau tidak senang dengan pemerintahan Khalifah Umar yang menaklukkan Persia.
- Penyebab Lain yang Lebih Kompleks: Kombinasi dari faktor pribadi, politik, dan sosial yang lebih besar. Misalnya, ketidakpuasan terhadap penguasa Muslim dan kebijakan mereka yang mungkin dianggap merugikan orang-orang non-Arab atau orang-orang di wilayah Persia.
Setelah menikam Umar dengan pisau bermata dua, Abu Lulua lari sambil mengayun-ayunkan pisaunya hingga melukai dan menewaskan beberapa orang lain. Orang2 berhasil mengurungnya, dan seterlah terpojok dia dia menusuk dirinya sendiri dengan pisau yang sama.
3. Khalifah Utsman bin Affan
Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, juga menemui ajalnya secara tragis. Ia dibunuh pada tahun 656 M saat sedang membaca Al-Qur’an di rumahnya. Utsman terkenal karena kebijakannya dalam mengumpulkan mushaf Al-Qur’an, tetapi pemerintahannya juga menghadapi kritik dan ketidakpuasan yang memuncak menjadi pemberontakan. Pembunuhannya menciptakan kekacauan dan perecahan Negara Madinah, yang akhirnya berujung pada perang saudara.
Latar Belakang dan Pemerintahan Utsman
Utsman bin Affan menjadi khalifah pada tahun 644 M setelah kematian Umar ibn al-Khattab yg dibunuh seorang budak Persia. Pada masa pemerintahannya, banyak perubahan yang terjadi, baik dari sisi administrasi pemerintahan, ekspansi wilayah, maupun kebijakan internal. Namun, ada beberapa kebijakan Utsman yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat.
- Peningkatan Kekayaan dan Nepotisme. Utsman adalah seorang yang kaya-raya sebelum menjadi khalifah, dan masa pemerintahannya sering dikritik karena adanya penunjukan keluarga dekatnya (Bani Umayyah) untuk posisi penting dalam pemerintahan. Ini menciptakan ketidakpuasan banyak kalangan, terutama mereka yang dipecat, diganti atau dipinggirkan.
- Kebijakan Ekspansi dan Administrasi. Utsman juga memperluas wilayah negara melalui berbagai ekspansi militer, tetapi beberapa kebijakan administrasi, seperti pengaturan distribusi kekayaan, pajak, dan penunjukan pejabat, mulai mendapat kritik tajam. Selain itu, selama masa pemerintahannya, terjadi ketimpangan ekonomi yang cukup besar, dengan semakin terpusatnya kekayaan di kalangan elit.
- Penyusunan Al-Qur’an. Salah satu pencapaian Utsman yang paling penting adalah penyusunan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang standar. Ia mengumpulkan seluruh versi yang ada dan menyusun satu mushaf yang dijadikan standar, yang dikenal dengan mushaf Utsman. Namun, meskipun ini adalah langkah positif, sebagian orang merasa keberatan dengan tindakan ini, meskipun itu bukanlah alasan utama kematiannya.
Penyebab Utama Pembunuhan Utsman
- Ketidakpuasan di Provinsi. Pada tahun 656 M (35 H), ketidakpuasan terhadap Utsman semakin meningkat, terutama di wilayah-wilayah yang jauh dari Madinah. Beberapa provinsi, termasuk Mesir, Irak, dan Kufah, dipimpin oleh gubernur-gubernur yang dekat dengan keluarga Utsman, seperti Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam (Suriah) dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh di Mesir. Mereka dituduh melakukan tindakan sewenang-wenang dan menindas rakyat. Ketidakpuasan ini berkembang menjadi protes yang lebih besar.
- Pengiriman Surat dan Pemberontakan. Pada tahun 656, serombongan penduduk dari Mesir dan Kufah mengirimkan surat kepada Utsman yang mengeluhkan kebijakan-kebijakan yang mereka anggap tidak adil. Mereka menuntut agar Utsman mengganti pejabat-pejabat yang telah ditunjuk dan menghentikan penyalahgunaan kekuasaan. Beberapa tokoh yang merasa tidak puas dengan Utsman, seperti Aisyah, Ali bin Abi Talib, dan Talhah, tidak langsung terlibat dalam pemberontakan, tetapi mereka memainkan peran penting dalam peristiwa yang terjadi selanjutnya.
- Pemberontakan dan Pengepungan Rumah Utsman. Puncaknya terjadi ketika para pemberontak yang sebagian besar berasal dari Mesir, Kufah, dan Basrah, mulai bergerak menuju Madinah. Mereka mengepung rumah Utsman selama beberapa minggu. Utsman berusaha untuk meredakan ketegangan ini dengan mengirimkan beberapa perwakilan, termasuk Ali bin Abi Talib, untuk berbicara dengan para pemberontak. Namun, usaha ini tidak membuahkan hasil.
- Pembunuhan Utsman. Pada tanggal 17 Juni 656 M, para pemberontak akhirnya berhasil menerobos rumah Utsman dan membunuhnya. Padahal Utsman saat itu sedang membaca Al-Qur’an. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia dibunuh oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh al-Ghurab bin al-Qalib dan beberapa tokoh pemberontak lainnya.
Peristiwa Setelahnya
- Ketegangan Politik dan Perpecahan. Pembunuhan Utsman memicu ketegangan politik di tengah masyarakat. Kejadian ini menjadi pemicu utama dari Fitnah Pertama (Perang Saudara Pertama), yang terjadi antara kelompok yang mendukung Ali bin Abi Talib dan kelompok yang menginginkan pembalasan atas kematian Utsman.
- Pengangkatan Ali Sebagai Khalifah. Setelah kematian Utsman, Ali bin Abi Talib dibait sebagai khalifah yang keempat. Namun, tidak semua kalangan mengakui pengangkatan ini, terutama keluarga Umayyah yang merasa bahwa kematian Utsman harus dibalas. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam yang juga merupakan sepupu Utsman, menuntut agar pembunuh Utsman dihukum, dan ia menolak membaiat Ali sebagai khalifah.
- Perang Jamal dan Perang Siffin. Ketidaksetujuan keluarga Utsman, terutama Muawiyah, akhirnya memicu terjadinya Perang Jamal pada 656 M, di mana pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Talhah, dan Zubair bertempur melawan pasukan Ali. Meskipun Ali menang, ketegangan tidak reda, dan pada tahun 657 M terjadi Perang Siffin, yang merupakan konflik besar lainnya antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah. Perang ini berakhir dengan kebuntuan, yang menghasilkan perdamaian yang rapuh.
4. Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, menghadapi tantangan luar biasa selama masa pemerintahannya. Ia dibunuh pada tahun 661 M oleh Abdurrahman bin Muljam saat sedang melaksanakan shalat. Pembunuhan Ali menandai akhir dari era Khulafaur Rasyidin dan memicu perpecahan yang lebih dalam di kalangan umat Islam, yang melahirkan berbagai aliran dan konflik yang masih berlanjut hingga kini.
Latar Belakang dan Pemerintahan Ali
Setelah kematian khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 M (35 H), Ali bin Abi Talib diangkat sebagai khalifah keempat. Namun, pemerintahan Ali tidak berjalan mulus. Peristiwa pembunuhan Utsman telah memicu ketegangan yang besar antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang mendukung keluarga Utsman, terutama Muawiyah bin Abi Sufyan yang merupakan gubernur Syam (Suriah) dan sepupu Utsman, menuntut agar pembunuh Utsman dihukum. Ketegangan ini menyebabkan Perang Jamal (656 M) dan Perang Siffin (657 M).
Meskipun Ali berhasil mengatasi konflik tersebut, perselisihan internal di kalangan umat Islam tetap ada, dengan beberapa kelompok seperti Khawarij yang memprotes keputusan-keputusan Ali dalam menghadapi pertempuran-pertempuran tersebut.
Sebab Kematian Ali: Konflik dengan Kelompok Khawarij
Ali menghadapi banyak tantangan dalam masa pemerintahannya. Salah satu masalah terbesar adalah munculnya kelompok Khawarij, yang merupakan bagian pendukung Ali tapi kecewa dengan keputusan Ali untuk menerima arbitrase (penyelesaian damai) dalam Perang Siffin dengan Muawiyah. Mereka menganggap perdamaian itu sebagai penghinaan terhadap hukum Allah. Keputusan dalam perang harusnya dikembalikan sepenuhnya kepada hukum Allah, bukan melalui perundingan sesama manusia.
Arbitrase tersebut pada akhirnya buntu, dan Khawarij kemudian menentang Ali secara terbuka. Mereka menganggap bahwa Ali telah menyimpang dari jalan yang benar dan menganggap dirinya sebagai kafir (tak beriman). Maka mereka berencana untuk membunuh tiga tokoh penting yang proses arbitrase itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin al-Ash. Dan yang berhasil terlaksana hanyalah pembunuhan Ali, yakni oleh Abdurrahman bin Muljam, ketika Ali baru saja pulang ke Kufa (Irak), ibu kota kekhalifahan Ali, dari perang Nahrawan, salah satu perang terhadap kelompok Khawarij.
Abdurrahman bin Muljam menyusup ke dekat Ali ketika Ali sedang di masjid untuk melaksanakan salat subuh. Bin Muljam menyerang Ali dengan pedang beracun. Pada saat itu, Ali baru saja selesai melaksanakan salat dan sedang berdoa. Bin Muljam menyerang kepala Ali dengan pedang tersebut, menyebabkan luka yang sangat parah. Ali kemudian dibawa pulang dan dalam kondisi kritis. Beberapa ahli pengobatan datang untuk merawatnya, namun racun dalam pedang itu sudah menggerogoti tubuhnya. Ali kemudian jatuh koma selama beberapa hari, dan pada 21 Ramadan 661 M (40 H), setelah tiga hari dalam kondisi kritis, Ali akhirnya meninggal dunia.
Peristiwa Setelah Kematian Ali
- Pengangkatan Hasan bin Ali sebagai Khalifah. Setelah kematian Ali, Hasan bin Ali, putra tertua Ali, diangkat sebagai khalifah oleh masyarakat Kufah. Namun, Hasan menghadapi situasi yang sangat sulit, terutama karena penentangan oleh Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan di Damaskus. Hasan bin Ali memilih mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah untuk mengakhiri pertumpahan darah yang lebih lanjut. Dengan ini dimulailah kekhalifahan oleh Bani Umayyah.
- Perpecahan dan Perang Saudara. Meskipun terjadi perdamaian antara Hasan dan Muawiyah, ketegangan antara kelompok Syiah (yang mendukung Ali dan keturunannya) dan kelompok Sunni yg lebih banyak terus berlangsung dan bahkan berkembang menjadi perpecahan yang lebih besar dalam sejarah Islam.
5. Hasan bin Ali: Mengalah dan Musnah
Hasan bin Ali, putra pertama dari Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Muhammad, adalah salah satu tokoh sentral dalam sejarah awal Islam. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat dihormati oleh semua orang. Kematian Hasan bin Ali menyisakan banyak pertanyaan dan kontroversi, yang berkaitan dengan bagaimana ia meninggal dan kondisi politik yang melatarbelakanginya.
Setelah kematian ayahnya, Ali, pada tahun 661 M, Hasan bin Ali sempat mengambil alih kepemimpinan umat Islam. Namun, setelah hanya memimpin selama enam bulan, Hasan memutuskan untuk mengundurkan diri dari kekhalifahan dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, yang pada waktu itu memimpin wilayah Syam dan juga menuntut kekhalifahan. Pengunduran diri ini mengejutkan banyak pihak, karena ia telah menerima baiat sebagai khalifah dari penduduk Kufah (Irak).
Hasan mengambil langkah ini demi menghindari perang saudara lebih lanjut.
Hasan setuju untuk menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan syarat bahwa Muawiyah akan mengembalikan posisi khalifah kepadanya setelah dia meninggal, dan bahwa umat Islam akan dipersatukan kembali di bawah kepemimpinan Muawiyah. Hasan juga diberi jaminan akan hidup dalam kedamaian dan diberi hak untuk tetap dihormati sebagai keluarga Nabi. Hasan lalu kembali ke Madinah, sementara Muawiyah menjadi khalifah dengan kedudukan tetapi di Damaskus (Syam).
Namun pada tahun 670 M (49 H) Hassan meninggal akibat keracunan. Meskipun beberapa sejarawan meragukan bahwa Hasan dibunuh dengan sengaja, banyak sumber yang mengatakan bahwa ia memang dibunuh, dan ada dugaan bahwa orang yang bertanggung jawab adalah Juda binti al-Ash’ath, yang tidak lain adalah isterinya sendiri! Ia tega membunuhnya suaminya atas bujukan Muawiyah, yg berjanji akan menikahkannya dengan Yazid anaknya! Dengan ini maka Muawiyah menjadi leluasa mewariskan kekhalifahan kepada anaknya! Mejadi monarkhie!
Bagi pendukung keluarga Ali (kemudian dikenal sebagai Syiah), Hasan dikenang sebagai seorang pemimpin yang memilih untuk mendamaikan umat Islam daripada melanjutkan konflik saudara. Dalam pandangan kelompok lain (Sunni), ia dihormati sebagai seorang khalifah yang bijaksana dan berani meletakkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Ia jadi simbol perdamaian dalam Islam dan dihormati oleh banyak pihak sebagai contoh kearifan politik.
6. Husain bin Ali: Tragedi Karbala
Setelah Ali meninggal dibunuh oleh sekelompok orang pendukungnya sendiri, lalu Hassan yg dibaiat sebagai khalifah memilih menyerahkan jabatan itu kepada Muawiyah yg ngotot memintanya. Dan memang orang ini begitu ambisius, menjadikan puteranya –Yazid– sebagai khalifah di Damaskus. Khalifah yang harusnya dipilih berdasarkan konsensus umat (ijma’) menjadi diwariskan seperti kerajaan. Husain dan banyak tokoh lain di Madinah menolak kepemimpinan Yazid. Orang ini dinilai tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin agama, juga dianggap zalim dan tidak adil.
Husain menolak membaiat Yazid, lalu meninggalkan Madinah menuju Kufah (Irak), di mana sebagian besar penduduknya mendukungnya dan berharap Husain akan menjadi pemimpin mereka. Husain menerima undangan mereka dan memulai perjalanan dengan rombongan kecil yang terdiri dari keluarga dan beberapa pengikut setianya sejumlah 70an orang. Husain berharap untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan Islam yang berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan melawan penindasan.
Namun, setelah Husain dan pasukannya tiba di Karbala, mereka dikepung oleh pasukan besar yang dikirim oleh Yazid. Pasukan ini terdiri dari sekitar 30.000 tentara yang dipimpin oleh Ubayd Allah bin Ziyad, gubernur Kufah. Husain meminta berunding dengan pihak Yazid untuk mencari kompromi yang baik, tapi ini ditolak. Pasukan Yazid memilih menghancurkan pasukan Husain, tanpa dukungan dari penduduk Kufa yang sebelumnya mengundangnya.
Pagi hari, pada 10 Muharram 680 M, Husain dan pengikutnya menghadapi serangan besar-besaran. Satu per satu rombongan Husain gugur, termasuk putra-putra Husain. Husain sendiri meskipun terluka parah terus bertahan, hingga akhirnya jatuh setelah ditikam oleh panah dan pedang. Dalam keadaan terluka parah, Husain terus-menerus berdoa dan memanggil nama Allah, sebelum akhirnya gugur sebagai syahid. Jasad Husain ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur, sementara kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid di Damaskus. Perempuan dan anak-anak yang tersisa dalam pasukan Husain, termasuk adik perempuan Husain, Zainab, dibawa sebagai tawanan. Mereka kemudian diperlakukan dengan sangat kasar sebelum akhirnya dibebaskan oleh pasukan Yazid setelah beberapa hari.
Kematian Husain dan tragedi Karbala memiliki dampak yang sangat mendalam pada perkembangan sejarah Islam, dan membentuk identitas Syiah. Bagi umat Syiah, Karbala menjadi simbol perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan. Husain dipandang sebagai imam yang benar, yang berjuang untuk prinsip-prinsip Islam meskipun menghadapi kekuatan yang besar.
**
Note: Artikel ini saya tulis setelah kuliah “Formulasi Kebijakan Publik” minggu ini, di mana sy mengutip “homo homini lupus”-nya Thomas Hobes. Konteksnya politik dan non-decision making (https://disarpus.indramayukab.go.id/ucs/index.php?p=show_detail&id=24773).
Sorenya sy terngiang-ngiang dengan ucapan itu, dan teringat pada peristiwa politik yg menegangkan dan bikin dahi berkerut, yakni terbunuhnya khalifah ke-2 Umar bin Khattab th 644an. Pembunuhan politik pertama, hanya 13 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Artikel ini saya buat dg bantuan AI, yg saya perbaiki berdasarkan pengetahuan saya sejauh ini (dari buku, internet maupun pengajian). Mohon koreksi dan komentar dari pembaca sekalian…
Referensi ini sebagian juga dari AI. Belum tentu benar/akurat.
Artikel Online:
- Detik. (2023). Kisah wafatnya Khalifah Utsman Bin Affan. Detik. https://www.detik.com/hikmah/kisah/d-6775835/kisah-wafatnya-khalifah-utsman-bin-affan-dibunuh-saat-baca-al-quran
- Detik. (2023). Kisah meninggalnya Umar Bin Khattab: Jasadnya dimakamkan di samping Rasulullah SAW. Detik. https://www.detik.com/hikmah/kisah/d-6752150/kisah-meninggalnya-umar-bin-khattab-jasadnya-dimakamkan-di-samping-rasulullah-saw
- Eramuslim. Kematian tragis para pemimpin adil. Eramuslim. https://www.eramuslim.com/peradaban/sirah-tematik/kematian-tragis-para-pemimpin-adil/
- Islam Kaffah. Kisah tragis kematian para khalifah. Islam Kaffah. https://islamkaffah.id/kisah-tragis-kematian-para-khalifah-dan-alarm-buat-umat/
- Kompas. (2023). Kisah pembunuhan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Kompas. https://www.kompas.com/stori/read/2023/06/06/090000479/kisah-pembunuhan-khalifah-ali-bin-abi-thalib
- Wikipedia. (n.d.). Pembunuhan Ali. Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_Ali
- UIN Alauddin. (n.d.). The Tragic Death of the Caliphs: A Historical Analysis. Al-Hikmah Journal. https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_hikmah/article/download/21713/pdf/
Buku dan Sumber Akademik:
- Armstrong, K. (2006). Muhammad: A Prophet for Our Time. HarperCollins.
- Amini, A. (n.d.). Al-Ghadir.
- Cook, M. (2000). The Koran: A Very Short Introduction. Oxford University Press.
- Donner, F. M. (1981). The Early Islamic Conquests. Princeton University Press.
- Esposito, J. L. (2011). Islam: The Straight Path (4th ed.). Oxford University Press.
- Kennedy, H. (1986). The Prophet and the Age of the Caliphates. Longman.
- Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press.
- Subhani, A. J. (1996). The Tragedy of Ashura: Karbala, A Symbol of Resistance. Islamic Humanitarian Services.
- Tabari, M. ibn J. (n.d.). History of the Prophets and Kings (Târikh al-Rusul wa’l-Mulûk).
- Wilferd Madelung. (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press.
- Cook, M. (2000). Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought. Cambridge University Press.
- Kister, M. J. (2012). The Early Islamic State: From the Prophet to the Caliphate. Palgrave Macmillan.
- Marwan ibn Hakam. (2006). The Umayyad Dynasty: A Political History. Cambridge University Press.
- Armstrong, K. (2006). Muhammad: A Prophet for Our Time. HarperCollins.
- Al-Baladhuri, A. ibn Y. (n.d.). Futuh al-Buldan (The Origins of the Islamic State).
Comments Off on Tragedi para khalifah pertama