Samodra Wibawa

1. Pelayanan dokumen oleh kantor2 pemerintah kita sudah semakin baik. Cara pemerintah memberi kita KTP, STNK, SIM, SHM dll sudah jauh lebih baik dibanding 10 apalagi 20-30 tahun lalu. Selain karena IT, mungkin karena mmg reformasi birokrasi kita sudah lumayan berhasil. Entah kalau revoluasi mental (?). Baik dalam arti: syarat jelas, relative transparan, cepat, murah, efisien dst. Tapi suap-menyuap ternyata masih ada, terutama oleh mereka yg kaya, tidak ingin repot, tak punya waktu atau tak paham prosedur.

2. Tapi pelayanan publik dalam bentuk barang dan jasa/”pelayanan” sepertinya belum memuaskan. Mungkin sudah cukup memuaskan, tapi protes masih terdengar di sana-sini.

3. Perlu diteliti kualitas pelayanan/pembangunan-dan-perawatan: jalan, jembatan, gedung sekolah, gedung puskesmas, kesehatan, taman, monumen, patung, perpustakaan, pasar dll. Sudah baguskah? Sudah awetkah? Sudahkah ramah lingkungan? Bagaimana aksesibilitasnya? Sudah sepadankah jumlah dan mutunya dibanding duit rakyat yg dibelanjakan untuk itu? Tidak adakah korupsi dan penyunatan anggaran? Dst.

4. Layanan sosial, kesehatan, pendidikan, “agama”, keamanan, ketenteraman, ekonomi, politik (apalagi?) juga wajib diteliti dan dinilai mutu dan jumlahnya. Mengapa masih ada gelandangan dan pengemis? Mengapa masih ada orang cacat yg dibiarkan tergeletak di emper2 toko? Mengapa suara lespeker masih bising? Apa yg didapat oleh orang miskin? Korban bencana? Korban PHK? Dsb. dst.

5. Perlu belajar pada Malaysia, Korea, Cina, Eropa dsb. yang baik2.

6. UU pelayanan publik (th 2009) oleh karena itu perlu dikupas-tuntas, dibongkar dan direkonstruksi… ?

**

Dari webinar Akademia Noto Negoro (ANN), “Penyimpangan etika publik”, Kamis 31 Maret 2022 jam 19.30 WIB; pembicara: Djaka Permana (STIAMI), Mary Ismowati (Unas), Erika Ariesanti (Pemkot Bengkulu), moderator: Eceh Trisna Ayuh (Unmuh Bengkulu). Many thanks to: Akhmad Yani, M. Uhaib, Hanif Nurcholis, Nuryati Harahap.