Aug 09 2020
Federal (atau: Referendum)
Untuk: Cornelis Lay, teman seperjalanan di Konggres AIPI di Kupang dan Manado awal 1990an.
Konteks: Hagia Sophia 2020, Turki Ottoman 1470an, Ibnu Khaldun (Tunisia-Andalusia 1350an), desentralisasi dan pandemi 2020, dan “hari kiamat” Black Brothers 1970an.
*
Sudah kubilang, bahwa negara adalah sebuah kesatuan yang terdiri dari: sekumpulan manusia (ribuan, puluhan, ratusan ribu, beberapa juta dan kemudian beberapa puluh dan ratusan juta), dipimpin (diurus, diperintah, dikelola) oleh seseorang di atas suatu wilayah, dan –tentu saja– diakui sebagai negara oleh manusia dan terutama pengurus dari negara lain. Manusia/penduduk/warganya bisa bertambah dan berkurang, keluar-masuk silih berganti. Pemimpin/pengurus/pemerintahnya bisa diwariskan, dipergulirkan, diperebutkan oleh intern keluarga dan nepot si pemimpin itu maupun di antara seluruh penduduk mapun dengan orang asing.
Wilayah bisa meluas dan menyusut atau bahkan hilang, dan hilanglah negara itu. Bisa saja negara eksis tanpa wilayah, hanya penduduk dan pengurusnya. Tapi negara seperti ini dianggap aneh, bukan negara yang sesungguhnya yg normal, melainkan negara darurat atau pemerintahan darurat atau pemerintahan dalam pengasingan atau apalah. Atau: gerombolan, organisasi rahasia, persekutuan bawah tanah.
Negara adalah makhluk hidup. Mungkin suatu saat negara akan punah dari muka bumi ini. Seperti lenyapnya dinosaurus. Tapi setidaknya dalam seribuan tahun ke depan rasanya manusia masih membutuhkan negara, setidaknya merasakan perlu adanya negara, minimal pemerintah (: pengurus masyarakat, pelayan publik).
Akan halnya Indonesia?
Akan halnya Indonesia, Indonesia adalah sebuah negara yang dideklarasikan 1945. Sebelumnya di atas wilayahnya adalah sebuah provinsi-jauh dari negara Belanda. Koloni. Sebelumnya di atas wilayah ini ada banyak negara –ada yg besar, ada yg kecil, ada yg kuat, ada yg lemah. Datang silih berganti maupun eksis bersamaan. Bersahabat maupun bertengkar. Sedarah maupun beda keluarga. Berapa banyak? Buanyak sekali, ratusan. Sebutlah sebuah huruf, dan anda pasti akan menemukan sebuah negara yang pernah eksis di Nusantara. Lihatlah daftarnya di https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kerajaan_yang_pernah_ada_di_Nusantara (dibuka 5 Agt 2020). Semua huruf terwakili, kecuali Q, V, X dan Z. Dan, anehnya, Y memang hanya satu: Yogyakarta (dan karenanya jadi satu2nya daerah istimewa saat ini… ?).
Kenapa hanya Jogja yg diistimewakan oleh pemerintah RI?[1]
Kenapa Alita dan Allah di Bugis (lihat Wikipedia tadi) tidak dijadikan daerah istimewa –entah kabupaten, kecamatan atau desa? Kenapa Surakarta –yg dekat dengan Yogyakarta, yg bahkan cikal-bakalnya Jogja– tidak dijadikan provinsi istimewa setara dengan yuniornya? Kenapa tidak Bohorok di Sumatera Timur, Minangkabau di Sumbar, Kutai di Kaltim, Jailolo di Halmahera, Karangasem di Bali, Fialarang di Timor Loro Manu dll. dst.?
Karena negara-negara itu sudah tidak ada pada 1945? Okelah, kalau begitu semua negara yg masih ada pada waktu itu dijadikan daerah istimewa dong. Dan yg dianggap sudah tidak ada ya dicari, jangan2 karena pemerintah mereka lari atau mati suri di bawah pengelolaan gubernur jenderal Hindia Belanda selama beberapa puluh tahun sebelumnya.
Karena mereka sudah tidak mampu, tidak punya kapabiltas? Ya dimampukan dong. Proklamasi kemerdekaan adalah jembatan emas. Di seberang jembatan itu negara-negara di Nusantara menemukan ruang dan hawa yg segar untuk leluasa menata dirinya.
Karena mereka tidak pro republik? Yah, 1945 ada jaman abnormal: habis Perang Dunia II, Jakarta kosong. Orang bingung tak tahu arah. Berita simpang-siur, pengetahuan tidak mencukupi untuk membuat keputusan. Wirr-warr. Jangan bikin keputusan ketika anda sedang marah atau bingung. 1950-an, ketika cuaca telah tenang, gelombang badai telah surut menyisakan riak-riak saja, saatlah itulah mestinya negara-negara yang berserakan di seluruh Nusantara laksana mutiara ratna intan mutu manikam itu dipersilakan untuk membuat keputusan masing-masing. Tidak oleh anggota keluarga raja (kalau masih ada) atau siapapun orang yg dianggap pemimpin di sana dan sekelompok kecil orang di sekitarnya, melainkan oleh seluruh penduduk/warga di komunitas itu.
Kemerdekaan adalah hak segala “bangsa”.
*
[1] Keistimewaannya terancam terkotori atau bahkan rusak, karena Sultan saat ini berencana menjadikan puterinya sebagai ratu/sultin –sesuatu yg menyimpang dari tradisi/norma/konvensi, yg harusnya dilestarsikan sebagai bagian dari keistimewaan itu. Orang khawatir akan horeg-nya.
Comments Off on Federal (atau: Referendum)