Apr 22 2025
Piagam Madinah dan Hukum Publik: Relasi antara Politik Kenabian dan Wahyu Ilahi
Abstrak
Piagam Madinah, sebagai dokumen pertama yang mengatur hubungan sosial dan politik di komunitas Muslim awal, menawarkan perspektif unik mengenai hukum publik. Meskipun bukan wahyu Al-Qur’an atau Hadis, Piagam Madinah mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam ajaran Islam, seperti keadilan, musyawarah, dan perlindungan terhadap minoritas. Artikel ini menganalisis relevansi Piagam Madinah dalam konteks kenegaraan modern, dengan menyoroti nilai-nilai pluralisme, kontrak sosial, dan keadilan sosial yang menjadi dasar dari sistem politik Madinah. Melalui pendekatan historis dan kontekstual, artikel ini berargumen bahwa Piagam Madinah dapat menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan konstitusi negara Islam kontemporer yang inklusif dan demokratis, di mana hak-hak semua warga negara dijamin, tanpa memandang agama atau latar belakang etnis. Implikasi dari penerapan Piagam Madinah dalam negara modern termasuk pengembangan sistem hukum yang berbasis pada prinsip maqāṣid syarī‘ah, serta keterbukaan terhadap nilai-nilai pluralitas dalam masyarakat majemuk.
Ini dari AI… mhn dibaca dg hati2, dan mhn koreksi… 🙏🙏
Kata Kunci: Piagam Madinah, Hukum Publik, Fiqih Siyasah, Konstitusi Islam, Pluralisme, Demokrasi Syura, Kontrak Sosial, Hukum Islam Kontemporer, Maqāṣid Syarī‘ah, Negara Islam Modern, Perlindungan Minoritas, Keadilan Sosial.
1. Pendahuluan
Wacana tentang hubungan antara agama dan negara dalam Islam terus menjadi tema sentral dalam studi fiqih siyasah dan teori hukum publik Islam. Dalam konteks ini, salah satu pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: apakah Islam memiliki preseden historis mengenai bentuk pemerintahan yang memadukan wahyu dan kekuasaan politik? Sebagian kalangan menilai bahwa Islam, sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tentu memiliki model kenegaraan tersendiri yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Namun di sisi lain, terdapat pendekatan yang lebih historis-sosiologis yang menempatkan Piagam Madinah sebagai sumber hukum publik pertama dalam sejarah politik Islam—yang justru tidak sepenuhnya bersifat normatif-wahyu, melainkan hasil kontrak sosial antara berbagai kelompok masyarakat Madinah.
Piagam Madinah (Ṣaḥīfat al-Madīnah), sebagai dokumen politik pertama yang dirancang oleh Rasulullah SAW, sering disebut sebagai “konstitusi tertulis pertama di dunia”. Dokumen ini disusun setelah peristiwa hijrah dan bertujuan mengatur kehidupan bersama antara kaum Muslim, Yahudi, dan suku-suku Arab lainnya di Madinah. Dalam 47 pasalnya, Piagam Madinah memuat prinsip-prinsip kerja sama, perlindungan kolektif, kebebasan beragama, serta pengakuan terhadap otonomi hukum masing-masing kelompok. Dalam hal ini, Piagam Madinah menunjukkan adanya kebijakan politik kenabian yang berorientasi pada stabilitas sosial dan keadilan lintas komunitas.
Namun, muncul pertanyaan konseptual yang penting: apakah Piagam Madinah dapat dianggap sebagai sumber hukum publik Islam yang berdiri sejajar atau bahkan menggantikan Al-Qur’an dan Hadis dalam konteks pemerintahan? Ataukah Piagam tersebut sebenarnya merupakan manifestasi praktis dari prinsip-prinsip wahyu yang diterjemahkan dalam bentuk perjanjian sosial? Persoalan ini menjadi penting terutama dalam melihat batas antara syariat (wahyu) dan siyasah (ijtihad politik), serta bagaimana kedua unsur ini dipadukan dalam praktik pemerintahan Rasulullah SAW.
Tulisan ini bertujuan untuk mengurai posisi Piagam Madinah dalam kerangka hukum publik, menelusuri korelasinya dengan nilai-nilai Qur’ani dan Sunnah, serta menilai sejauh mana dokumen tersebut merepresentasikan prinsip-prinsip hukum Islam dalam konteks sosial pluralistik. Dengan pendekatan interdisipliner antara sejarah, fiqih siyasah, dan teori konstitusi, tulisan ini ingin menegaskan bahwa Piagam Madinah bukanlah antitesis dari wahyu, melainkan bentuk implementasi kebijakan kenabian yang tetap berpijak pada prinsip-prinsip ilahiyah. Melalui kajian ini, kita juga akan mencoba menilai relevansi Piagam Madinah dalam merumuskan sistem hukum publik negara-negara Muslim kontemporer.
2. Kerangka Teori dan Tinjauan Literatur
2.1. Fiqih Siyasah sebagai Dasar Pemikiran Politik Islam
Fiqih siyasah adalah cabang dari ilmu fiqih yang membahas urusan pemerintahan, kekuasaan, dan pengelolaan urusan publik dalam kerangka hukum Islam. Dalam perspektif klasik, fiqih siyasah menjabarkan bagaimana syariat Islam dapat diterapkan dalam konteks pemerintahan dan tata kelola negara, dengan menekankan prinsip keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan amanah kekuasaan. Para ulama seperti al-Mawardi (w. 1058 M) dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah dan Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) dalam As-Siyasah asy-Syar’iyyah menjelaskan bahwa pemimpin bertanggung jawab menjalankan hukum Allah dan melindungi masyarakat dari ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar.
Namun, di samping dimensi hukum normatif, fiqih siyasah juga membuka ruang untuk fleksibilitas melalui konsep siyasah syar’iyyah—yakni kebijakan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash, tetapi sah selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat dan bertujuan mencapai kemaslahatan umum. Dalam konteks ini, tindakan Rasulullah SAW menyusun Piagam Madinah dapat dipahami sebagai bagian dari siyasah syar’iyyah, karena ia bukanlah teks wahyu, namun selaras dengan nilai-nilai wahyu.
2.2. Teori Siyasah Syar’iyyah dan Ijtihad Kenabian
Dalam kerangka siyasah syar’iyyah, otoritas politik memiliki ruang ijtihad untuk menyusun peraturan yang dibutuhkan dalam menghadapi realitas sosial-politik, asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Konsep ini banyak dikembangkan oleh para fuqaha pasca-khulafaur rasyidin, dan menjadi salah satu pilar penting dalam menggabungkan antara teks wahyu dan kebutuhan kontemporer umat. Dalam praktiknya, Rasulullah SAW sendiri memberikan preseden bahwa tidak semua tindakan kenegaraan beliau langsung berdasarkan wahyu, tetapi banyak yang merupakan kebijakan kenabian (‘amal siyasiy nabawi) berdasarkan penilaian rasional dalam konteks tertentu.
Sebagaimana ditulis oleh Yusuf al-Qaradawi dalam Min Fiqh ad-Daulah fi al-Islam, beliau menjelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak hanya sebagai penyampai wahyu, tetapi juga pemimpin politik, kepala negara, dan panglima perang. Dalam menjalankan fungsi negara, beliau melakukan ijtihad politik, seperti ketika mengangkat Mu’adz bin Jabal ke Yaman, mendirikan pasar Islam, membentuk perjanjian damai dengan Yahudi Madinah, hingga menyusun Piagam Madinah.
2.3. Piagam Madinah dalam Perspektif Historis dan Hukum
Piagam Madinah telah menjadi perhatian banyak peneliti modern, baik Muslim maupun non-Muslim. Muhammad Hamidullah dalam bukunya The First Written Constitution in the World menyebutnya sebagai dokumen politik tertulis pertama yang mengandung prinsip-prinsip konstitusional, seperti pengakuan terhadap hak komunitas, jaminan kebebasan beragama, dan perlindungan bersama terhadap serangan eksternal. Sedangkan W. Montgomery Watt menekankan bahwa Piagam Madinah adalah hasil kompromi politik Rasulullah SAW yang sangat strategis dalam menjaga stabilitas Madinah yang multikultural.
Dari sisi hukum, beberapa ulama seperti Taha Jabir Al-‘Alwani melihat Piagam Madinah sebagai bentuk fiqih yang aplikatif (fiqh al-waqi’), yang menggambarkan kemampuan Islam menyesuaikan prinsipnya dalam ruang sosial-politik yang majemuk. Ini berbeda dengan pendekatan fikih normatif yang melihat hanya kepada teks literal, tanpa mempertimbangkan konteks dan maqasid.
2.4. Konsep Kontrak Sosial dan Konstitusi dalam Negara Modern
Dalam teori politik modern, kontrak sosial (social contract) merupakan dasar dari legitimasi negara. Gagasan ini dapat ditemukan dalam pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, yang menyatakan bahwa negara lahir dari kesepakatan antarindividu untuk mengatur kehidupan bersama secara damai dan berkeadilan. Piagam Madinah, dalam banyak aspek, mencerminkan prinsip serupa, yakni adanya kesepakatan bersama antar-komunitas untuk hidup berdampingan dan menjunjung hukum kolektif.
Dengan demikian, membandingkan Piagam Madinah dengan konsep konstitusi modern dapat memperluas pemahaman kita bahwa Islam sejak awal membuka ruang untuk keterlibatan sosial-politik secara konstitusional—selama tetap dalam kerangka nilai-nilai dasar wahyu.
3. Piagam Madinah: Analisis Historis dan Sosiologis
3.1. Konteks Sejarah Penyusunan Piagam Madinah
Setelah peristiwa hijrah tahun 622 M, Rasulullah SAW dan komunitas Muslim menghadapi realitas baru di Madinah (dulu dikenal sebagai Yatsrib). Kota ini dihuni oleh tiga kelompok utama: kaum Muhajirin (pendatang Muslim dari Makkah), kaum Anshar (Muslim lokal), serta komunitas Yahudi dari berbagai kabilah seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Di samping itu, terdapat juga kelompok non-Muslim Arab yang belum memeluk Islam.
Berbeda dengan Makkah yang bersifat homogen dan aristokratis, Madinah memiliki struktur sosial yang plural dan tribal. Konflik antar-suku, khususnya antara suku Aus dan Khazraj, telah lama melemahkan tatanan sosial kota. Dalam konteks inilah, Rasulullah SAW sebagai pemimpin komunitas Muslim sekaligus penengah antar-suku, menyusun Piagam Madinah (Ṣaḥīfat al-Madīnah) sebagai solusi politik dan sosial yang mengikat seluruh penduduk kota dalam satu tatanan bersama.
3.2. Struktur dan Isi Piagam Madinah
Piagam Madinah terdiri dari sekitar 47 pasal, meskipun terdapat variasi kecil dalam versi manuskrip yang dikutip oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisham. Secara umum, isi piagam dapat dikelompokkan dalam beberapa tema besar:
- Pengakuan terhadap identitas masing-masing kelompok (Muslim, Yahudi, dan suku-suku lain) dengan hak dan kewajiban yang setara dalam urusan keamanan dan hukum.
- Penciptaan “ummah” baru, bukan hanya berbasis agama, tetapi berdasarkan komitmen kolektif terhadap persatuan politik dan tanggung jawab bersama.
- Kebebasan beragama dijamin bagi semua pihak, termasuk Yahudi, selama mereka loyal terhadap perjanjian.
- Jaminan keamanan kolektif, termasuk kewajiban saling tolong-menolong dan pembagian beban dalam perang atau ancaman eksternal.
- Rasulullah SAW ditetapkan sebagai pemimpin politik sekaligus pemutus sengketa di antara para pihak (Pasal 42).
3.3. Fungsi Sosial dan Politik Piagam
Dari sudut pandang sosiologis, Piagam Madinah adalah sebuah instrumen integratif untuk membentuk kohesi sosial di tengah masyarakat yang sebelumnya terpecah. Piagam ini mengubah identitas sosial dari yang semula berbasis kesukuan menuju identitas politik yang inklusif: “umat Madinah”. Ini sejalan dengan pendekatan Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Islam yang tidak eksklusif berdasarkan keimanan semata, tetapi juga menjunjung nilai keadilan dan perdamaian bersama.
Piagam ini juga merupakan bentuk awal dari apa yang disebut kontrak konstitusional dalam masyarakat multikultural. Ia tidak memberlakukan satu sistem hukum tunggal secara represif, melainkan mengakui eksistensi hukum komunitas (misalnya: “bagi Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka”). Namun, tetap terdapat satu otoritas final dalam penyelesaian konflik: kepemimpinan Rasulullah SAW.
3.4. Piagam Madinah sebagai Produk Politik Kenabian
Piagam Madinah bukanlah wahyu (tanzīl), tetapi merupakan produk ijtihad kenabian dalam konteks politik riil. Rasulullah SAW, sebagai pemimpin negara, menyusun dokumen ini untuk merespons realitas sosial Madinah tanpa keluar dari nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, amanah, dan perdamaian. Hal ini menjadi contoh bahwa dalam hukum publik Islam, terdapat ruang luas bagi ijtihad siyasah dalam mengelola masyarakat yang kompleks, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar wahyu.
Sebagaimana ditegaskan dalam prinsip siyasah syar’iyyah, pemimpin diperbolehkan membuat keputusan dan kebijakan yang tidak secara eksplisit terdapat dalam Qur’an atau Hadis, selama hal itu memenuhi maqasid syariah. Dalam hal ini, Piagam Madinah mencerminkan maqasid seperti hifz al-nafs (perlindungan jiwa), hifz al-‘ird (perlindungan martabat), dan hifz al-din (perlindungan agama) secara kolektif.
4. Relasi antara Piagam Madinah dan Wahyu
4.1. Apakah Piagam Madinah Berasal dari Wahyu?
Satu pertanyaan fundamental dalam studi fiqih siyasah adalah: apakah Piagam Madinah bersumber dari wahyu secara langsung, ataukah merupakan produk kebijakan politik (ijtihad) Rasulullah SAW? Dari sisi tekstual, tidak ditemukan ayat Al-Qur’an maupun hadis yang menyebutkan Piagam Madinah secara eksplisit sebagai wahyu. Ia tidak diturunkan dalam bentuk ayat, dan tidak pula masuk dalam kategori “qaul Nabi” (sabda), “fi‘l Nabi” (perbuatan), ataupun “taqrir Nabi” (persetujuan) sebagaimana hadis normatif.
Dengan demikian, secara metodologis, Piagam Madinah bukan produk wahyu (tanzīl), melainkan produk ijtihad siyasah Rasulullah SAW yang dijalankan dalam kerangka maqāṣid syarī‘ah. Namun, ini tidak berarti ia bertentangan dengan wahyu. Sebaliknya, Piagam Madinah dapat dianggap sebagai penerapan nilai-nilai Qur’ani dalam ranah sosial-politik yang pluralistik.
4.2. Korelasi Nilai-Nilai Piagam dengan Ajaran Wahyu
Beberapa nilai utama dalam Piagam Madinah sejatinya paralel dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya:
- Persatuan umat dan kohesi sosial: QS Al-Hujurat [49]:10 – “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…”
- Keadilan dan perdamaian antar kelompok: QS Al-Mumtahanah [60]:8 – “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu…”
- Kesepakatan kolektif dan musyawarah: QS Ali Imran [3]:159 – “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
- Toleransi agama dan perlindungan minoritas: QS Al-Kafirun [109]:6 – “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”
Piagam Madinah tidak bertentangan dengan ayat-ayat ini, justru mencerminkan semangat implementatif dari nilai-nilai tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Piagam Madinah adalah manifestasi praksis dari wahyu, bukan antitesisnya.
4.3. Posisi Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Kepala Negara
Salah satu argumen penting dalam melihat posisi Piagam Madinah adalah memahami dua dimensi peran Rasulullah SAW: sebagai Rasul (penyampai wahyu) dan sebagai imam (kepala negara). Dalam peran kenabian, Rasul menyampaikan wahyu dan hukum-hukum normatif. Dalam peran politik, beliau melakukan ijtihad dalam kebijakan publik berdasarkan maslahat dan konteks.
Dalam beberapa kasus, wahyu turun sebagai koreksi atas kebijakan Rasulullah SAW. Contohnya dalam perang Uhud atau tawanan perang Badar. Namun, terhadap Piagam Madinah, tidak ada wahyu yang mengoreksi atau membatalkannya, yang secara tidak langsung menegaskan legitimasi dokumen tersebut sebagai kebijakan yang sesuai dengan ruh syariat.
4.4. Implikasi Teoritis terhadap Fiqih Kenegaraan
Relasi Piagam Madinah dan wahyu menunjukkan bahwa hukum publik Islam tidak harus seluruhnya bersifat tekstual, melainkan bisa dikembangkan melalui prinsip-prinsip maqāṣid syarī‘ah dan kebijakan rasional yang adil dan maslahat. Ini penting dalam membangun sistem hukum publik kontemporer di negara-negara Muslim, yang sering kali menghadapi realitas sosial yang plural, kompleks, dan terus berubah.
Dengan demikian, Piagam Madinah memberi preseden bahwa negara Islam dapat memiliki konstitusi hasil ijtihad manusia, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah. Ini membuka ruang bagi rekonstruksi hukum publik dan tata pemerintahan Islami yang tidak stagnan, tetapi tetap otentik.
5. Relevansi Piagam Madinah dalam Konteks Negara Modern
5.1. Pluralisme dan Kebebasan Beragama dalam Negara Islam
Salah satu kontribusi paling signifikan dari Piagam Madinah terhadap konsep kenegaraan modern adalah pengakuan atas pluralitas agama dan budaya dalam satu sistem politik. Dalam konteks negara modern yang multietnis dan multireligius, prinsip ini sejalan dengan gagasan negara kebangsaan yang inklusif dan menjamin hak-hak minoritas.
Piagam Madinah memberikan jaminan perlindungan terhadap kaum Yahudi dengan klausul-klausul yang mencakup:
- Pengakuan hak eksistensi komunitas Yahudi.
- Kebebasan menjalankan agama masing-masing.
- Keadilan hukum tanpa diskriminasi agama.
Ini sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin dalam banyak konstitusi negara modern, termasuk dalam Pasal 18 Deklarasi Universal HAM PBB.
5.2. Kontrak Sosial dan Konstitusi
Piagam Madinah adalah dokumen kontrak sosial awal dalam Islam yang menyerupai fungsi konstitusi modern. Ia bukan wahyu, tetapi konsensus (ijma’) antara berbagai kelompok. Konsep ini memiliki beberapa persamaan dengan:
- Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes: warga negara menyepakati hak dan kewajiban bersama dalam satu sistem politik.
- Konstitusi tertulis: dokumen yang memuat aturan dasar penyelenggaraan negara, hubungan antarwarga, dan pembagian kekuasaan.
Hal ini membuka jalan bagi ijtihad konstitusional dalam fiqih siyasah modern, yaitu bahwa umat Islam tidak diwajibkan menyalin bentuk pemerintahan zaman Nabi secara kaku, tetapi bisa merumuskan sistem kenegaraan yang relevan dengan masanya selama tidak keluar dari nilai-nilai syar’i.
5.3. Pemimpin Sebagai Penjamin Keadilan, Bukan Hegemoni Agama
Dalam Piagam Madinah, Rasulullah SAW tampil sebagai pemimpin politik yang menjamin keadilan antar komunitas, bukan sekadar pemimpin agama eksklusif untuk umat Islam. Ini memberikan kerangka bahwa:
- Seorang pemimpin Muslim dapat memimpin masyarakat majemuk.
- Legitimasi tidak hanya bersumber dari agama, tetapi juga dari musyawarah dan penerimaan publik (bai’at).
- Tujuan kekuasaan adalah menjamin keamanan, keadilan, dan ketertiban, bukan dominasi simbolik atas kelompok lain.
Konsep ini sangat relevan dalam negara-negara mayoritas Muslim dengan struktur sosial plural, seperti Indonesia, Malaysia, dan Tunisia, di mana pemimpin Muslim berperan sebagai penjamin hak-hak seluruh warga negara, bukan hanya umat Islam.
5.4. Inspirasi bagi Desain Negara Muslim Kontemporer
Negara-negara Muslim saat ini menghadapi dilema antara:
- Mewujudkan hukum dan nilai Islam (syariat), dan
- Mengelola masyarakat plural dalam sistem demokrasi modern.
Piagam Madinah menawarkan model sintesis: negara berbasis nilai-nilai Islam, tetapi juga menjamin hak-hak seluruh komunitas, bahkan non-Muslim. Ini membuka peluang bagi negara:
- Menyusun konstitusi Islami yang terbuka, bukan eksklusif syariat normatif.
- Mengembangkan institusi demokratis berbasis syura.
- Menegakkan hukum publik berdasarkan keadilan, bukan hanya teks formal.
5.5. Kritik dan Batasan Relevansi
Meski sangat inspiratif, Piagam Madinah juga memiliki batasan jika langsung disalin ke konteks hari ini:
- Piagam disusun dalam konteks komunitas kecil berbasis tribal, bukan negara-bangsa dengan sistem birokrasi kompleks.
- Belum ada pemisahan kekuasaan seperti dalam sistem modern.
- Tidak terdapat mekanisme hukum yang terlembagakan secara sistematik (pengadilan, parlemen, dll).
Namun demikian, nilai-nilai fundamental dari Piagam Madinah — persatuan, keadilan, hak warga negara, musyawarah, dan perlindungan minoritas — tetap sangat relevan sebagai fondasi rekonstruksi negara Islami modern yang konstitusional, adil, dan inklusif.
6. Kesimpulan dan Implikasi Teoritis
6.1. Kesimpulan Umum
Piagam Madinah merupakan tonggak penting dalam sejarah politik Islam yang menandai terbentuknya komunitas politik pertama di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Meskipun tidak termasuk dalam wahyu tekstual (Al-Qur’an dan Hadis), Piagam ini memuat nilai-nilai Qur’ani yang diaplikasikan secara kontekstual dalam sistem sosial pluralistik di Madinah.
Rasulullah SAW, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik, tidak hanya bertindak sebagai penyampai wahyu, tetapi juga sebagai negarawan yang menjalankan ijtihad untuk membangun struktur sosial yang adil dan damai. Oleh karena itu, Piagam Madinah dapat dikategorikan sebagai produk fiqih siyasah ‘amaliyah yang relevan dan aplikatif.
6.2. Implikasi terhadap Studi Fiqih Kenegaraan
- Hukum publik Islam dapat bersumber dari konsensus politik (ijma‘) dan ijtihad maslahat, bukan hanya dari teks literal wahyu.
- Konstitusi negara Muslim dapat bersifat terbuka dan inklusif, sebagaimana Piagam Madinah yang mengakomodasi berbagai komunitas non-Muslim.
- Model kenegaraan Islam tidak harus menyerupai khilafah klasik secara format institusi, namun dapat merepresentasikan prinsip-prinsipnya dalam bentuk modern seperti negara hukum, demokrasi syura, dan perlindungan HAM.
6.3. Implikasi Kontekstual dan Kontemporer
Bagi negara-negara Muslim kontemporer, Piagam Madinah memberi preseden penting bahwa:
- Islam kompatibel dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme dan pluralisme.
- Pemimpin Muslim sah secara syar‘i selama memenuhi prinsip keadilan, amanah, dan kemaslahatan umat.
- Hukum publik Islam harus dibangun dengan pendekatan maqāṣid syarī‘ah, bukan hanya legalistik-formal.
Dengan demikian, rekonstruksi hukum publik Islam di era modern sebaiknya merujuk kepada pendekatan yang:
- Berorientasi pada nilai, bukan hanya bentuk.
- Mengintegrasikan teks wahyu dengan realitas sosial.
- Menjadikan praktik politik Nabi sebagai inspirasi etis dan strategis, bukan format legal yang beku.
6.4. Rekomendasi untuk Studi Lanjutan
Untuk memperkuat fondasi teoretis dan praktis hukum publik Islam, disarankan adanya:
- Studi komparatif antara Piagam Madinah dan konstitusi modern negara Muslim.
- Analisis tafsir tematik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukung pluralisme, musyawarah, dan keadilan sosial.
- Penelitian interdisipliner antara fiqih siyasah, ilmu politik, dan hukum tata negara.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2004). Islam and the Challenge of Democracy. Princeton University Press.
Abu-Nimer, M. (2010). Frieden und Konfliktlösung im Islam: Eine interkulturelle Perspektive. Freiburg: Herder.
An-Nabhani, T. (2001). Nizham al-Islam [Sistem Islam]. Beirut: Dar al-Ummah.
Azra, A. (2003). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.
Böwering, G., Mottahedeh, R. P., & Mirza, M. (Hrsg.). (2013). Der Islam – Politik, Gesellschaft, Recht und Glaube. München: C.H. Beck.
Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1996). Islam and Democracy. New York: Oxford University Press.
Hallaq, W. B. (2013). The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament. New York: Columbia University Press.
Haron, M. (2014). The Constitution of Medina: A Socio-Political Interpretation. Journal of Islamic Studies, 25(2), 153–178.
Lapidus, I. M. (2014). A History of Islamic Societies (3rd ed.). Cambridge University Press.
Madjid, N. (1997). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Munawwir, A. W. (2017). Piagam Madinah: Studi Historis Normatif tentang Konstitusi Tertulis Pertama dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, H. (1995). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jilid II). Jakarta: UI Press.
Özay, M. (2009). Islamisches Recht und Modernisierung: Eine Studie zur Relevanz des islamischen Rechts im zeitgenössischen Kontext. Berlin: Klaus Schwarz Verlag.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Rohe, M. (2011). Das islamische Recht: Geschichte und Gegenwart (3. Aufl.). München: C.H. Beck.
Schirrmacher, C. (2008). Der Islam aus der Sicht eines christlichen Theologen. Bonn: VKW.
Shihab, M. Q. (2007). Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhū‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Wahbah az-Zuhaili. (2006). al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (Vol. 6). Damaskus: Dar al-Fikr.
Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press.
Widmann, B. (2015). Verfassungsrecht und Religion: Eine vergleichende Betrachtung islamischer und westlicher Verfassungsstaaten. Frankfurt am Main: Peter Lang.
Zahrah, M. A. (1955). Usul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Comments Off on Piagam Madinah dan Hukum Publik: Relasi antara Politik Kenabian dan Wahyu Ilahi