Jan 25 2025


Negara Islam: Model Ideal, Sejarah dan Harapan

Artikel ini ditulis 6 Des 2024 untuk sebuah buku bunga rampai, dan tak jadi.. 🙂

1. Pendahuluan

Negara Islam telah lama menjadi subjek diskusi yang menarik dalam konteks politik, sosial, dan agama. Model pemerintahan yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial, kesejahteraan, keberlanjutan lingkungan dan dan juga stabilitas politik. Contoh ideal dari negara Islam adalah Negara Madinah yang dibangun dan dikepalai pertama kali oleh Nabi Muhammad pada tahun 622, yang sering dianggap sebagai contoh dan panduan untuk mewujudkan sistem pemerintahan berbasis syariat Islam.

Sepeninggal Nabi, Negara Madinah dikepalai oleh Abu Bakar, dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan kemudian Ali bin Abi Thalib –yang keempatnya dijuluki Khulafaur Rasyidin. Sepeninggal Ali dalam suatu turbulensi politik th 661, kekhalifahan diteruskan/diambil-alih oleh Muawiyah yang beribukota di Damaskus. Khalifah ini mengusahakan agar khalifah selanjutnya adalah anaknya, yang kemudian bertahan  sebagai Dinasti Umayyah selama 90 tahun (hingga th 750), lalu menjadi Emirat Cordoba (173 tahun, 756-929 ) dan kemudian Khilafah Cordoba (100 tahun, hingga 1031). Sistem yang semula demokratis-syura berubah menjadi monarkhi, sekalipun tidak absolut tetapi konstitusional berdasarkan syariat Islam. Selanjutnya diganti oleh Dinasti Abbasiyah di Baghdad selama 760 tahun (750-1517), diiringi oleh Dinasti Fatimiyah di Kairo selama 160 tahun (909-1171), dan kemudian Dinasti Utsmaniyah di Turki di Konstantinopel (Istanbul) selama 625 tahun, dari 1299 hingga ambruknya pada 1924.

Setiap dinasti atau khilafah mengalami masa pertumbuhan, kejayaan dan kemunduran . Pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada 1924, berbagai gerakan muncul untuk membangkitkan kembali sistem negara Islam dalam bentuknya yang ideal. Usaha atau gerakan itu dimulai sejak tahun pertama Turki Utsmani diruntuhkan Mustafa Kemal Pasha, kemudian menguat setelah terbentuknya Negara Israel pada 1948 di Palestina, dan terus berlangsung hingga sekarang di berbagai negara Muslim maupun bahkan di Eropa-Amerika.

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi model ideal negara Islam, sejarah kekhalifahan, penyebab keruntuhannya, dan tantangan serta peluang dalam membangkitkan kembali negara Islam di era global-digital saat ini. Ada beberapa alasan mengapa tema ini penting untuk dieksplorasi:

  1. Relevansi sosial dan politik: Islam memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial dan politik di banyak negara Muslim. Memahami sejarah dan konsep negara Islam dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang cara-cara pemerintahannya di masa lalu, serta potensi penerapannya dalam konteks modern.
  2. Perdebatan tentang Islam dan modernitas: Banyak negara Muslim dihadapkan pada dilema dalam mencari keseimbangan antara tradisi keagamaan dan tuntutan modernitas. Perlu dibuka diskusi mengenai apakah model negara Islam yang ideal dapat diterapkan dalam era global-digital, yang menjadikan dunia terasa semakin kecil dan serba terhubung saat ini.
  3. Menjawab tantangan kontemporer: Era modern membawa tantangan baru bagi umat Islam, seperti sekularisme, ketimpangan sosial-ekonomi dan kerusakan lingkungan. Diskusi tentang model ideal negara Islam memberikan kerangka untuk merancang solusi atas masalah-masalah ini, yang merupakan dampak dari dominannya sistem sekuler-kapitalistik-demokrasi-liberal setidaknya sejak 200 tahun terakhir.
  4. Peluang pemulihan dan perubahan: Membangkitkan kembali negara Islam yang ideal mengeksplorasi cara-cara baru yang lebih relevan untuk mewujudkan pemerintahan yang adil dan berkelanjutan.

2. Negara Islam Ideal: Era Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin

Negara Madinah di bawah Nabi Muhammad adalah model negara yang mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam pemerintahan. Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah) diakui sebagai konstitusi pertama dalam sejarah ummat manusia yang memastikan keadilan dan hak-hak dasar bagi semua warga, termasuk yang non-Muslim. Nabi Muhammad menerapkan sistem musyawarah (syura) dalam pengambilan keputusan, menjamin stabilitas politik dan sosial di tengah masyarakat yang relatif majemuk.

Keseimbangan ekonomi dijaga melalui sistem zakat-infaq-shadaqah-wakaf, larangan riba, dan pengelolaan baitul mal yang baik. Negara berperan aktif dalam distribusi kekayaan yang merata, menjamin kesejahteraan masyarakat, dan melindungi hak fakir-miskin. Prinsip ini dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin, yang menampilkan kepemimpinan yang amanah, adil dan bersahaja, tapi dengan pelayanan yang maksimal  kepada masyarakat.

Abu Bakar al-Siddiq menghadapi tantangan menyatukan kembali masyarakat setelah wafatnya Nabi, sementara Umar bin Khattab melakukan reformasi administrasi yang inovatif. Utsman bin Affan memperluas wilayah kekhalifahan, dan Ali bin Abi Thalib menghadapi konflik internal yang mengoyak persatuan masyarakat. Era ini menunjukkan bagaimana prinsip keadilan, solidaritas, dan syariat Islam diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Pemerintahan di Madinah berlangsung dengan prinsip-prinsip sbb., yang semuanya disandarkan pada Al Quran dan Hadits:

  1. Kedaulatan di tangan Allah: Segala hukum dan peraturan didasarkan pada syariat yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Dalil: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’am: 57)
  2. Keadilan: Pemerintahan ditegakkan berdasarkan keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau agama. Dalil: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS  An-Nahl: 90)
  3. Musyawarah: Keputusan diambil melalui proses musyawarah atau konsultasi di antara pemimpin dan rakyat. Dalil: “…Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka…” (QS Ash-Shura: 38)
  4. Kebebasan dan hak asasi manusia: Setiap individu memiliki hak kebebasan berpendapat, beragama, dan hak-hak dasar lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Dalil: “Tidak ada paksaan untuk menganut agama…” (QS Al-Baqarah: 256)
  5. Amanah dan akuntabel: Memimpin adalah amanah dari Allah dan rakyat, yang harus dipertanggungjawabkan dengan penuh kejujuran dan transparansi. Dalil: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS An-Nisa: 58)
  6. Persamaan (egalitarianisme): Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, tanpa diskriminasi. termasuk di sini adalah prinsip “penghargaan berdasar prestasi”: Setiap orang berhak mendapat apresiasi atas dedikasinya, tanpa memandang asal-usul, ras, ataupun keturunanya. Dalil: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu…” (QS Al-Hujurat: 13)
  7. Perlindungan terhadap minoritas: Negara melindungi hak-hak minoritas dan memastikan mereka diperlakukan dengan adil dan terhormat. Dalil: “Barang siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-Muslim yang berada dalam perjanjian) atau mengurangi haknya atau membebaninya di luar kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud)
  8. Kesejahteraan sosial: Pemerintahan Islam harus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, termasuk memberikan jaminan sosial bagi yang membutuhkan. Dalil: “…dalam harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS Adh-Dhariyat: 19)
  9. Keadilan ekonomi: Sistem ekonomi menjamin distribusi kekayaan yang adil dan melarang praktik-praktik yang merugikan seperti riba. Dalil: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (QS Al-Baqarah: 275)
  10. Perlindungan lingkungan: Pemerintah menjaga kelestarian alam dan lingkungan, karena manusia diberi amanah untuk memakmurkan bumi. Dalil: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56)

Prinsip-prinsip tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Islam didasarkan pada nilai-nilai moral dan etika yang sangat tinggi, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan berkelanjutan.

3. Sejarah Kekhalifahan Islam: Masa Kejayaan dan Kemunduran

Kekhalifahan Islam memiliki pengaruh yang sangat luas, melampaui batas-batas geografis dan budaya, serta menciptakan jejak sejarah yang tak terlupakan dalam perkembangan peradaban manusia. Puncak kejayaan kekhalifahan ini dapat dilihat pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), dimana Baghdad menjadi pusat intelektual dan ilmiah dunia. Kota ini menjadi rumah bagi sejumlah besar ilmuwan, filosof, dan cendekiawan dari berbagai belahan dunia, yang berkontribusi besar terhadap berbagai bidang pengetahuan. Tokoh-tokoh besar seperti Al-Khawarizmi, yang dikenal sebagai bapak aljabar, Ibnu Sina yang merupakan tokoh besar dalam bidang kedokteran dan filsafat, serta Al-Farabi, seorang filsuf yang menggabungkan pemikiran Yunani dengan ajaran Islam, muncul pada masa ini. Era ini, yang dikenal dengan sebutan Zaman Keemasan Islam, melahirkan kemajuan yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan, matematika, astronomi, kedokteran, filsafat, dan seni.

Pada masa keemasan tersebut, perpaduan antara kebudayaan Islam dan warisan budaya kuno, seperti Yunani dan Persia, menghasilkan terobosan ilmiah yang mendalam. Perpustakaan besar di Baghdad (Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan) menjadi tempat penting di mana ilmuwan dari berbagai bangsa bekerjasama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Kemajuan ini tidak hanya didorong oleh pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga oleh keterbukaan masyarakat Muslim terhadap budaya luar dan upaya mereka untuk mentransformasikan pengetahuan tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Namun, kemunduran mulai terlihat pada akhir masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Faktor utama yang berkontribusi terhadap kemunduran ini adalah korupsi birokrasi yang merajalela, yang menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan dan melemahnya kemampuan khalifah dalam mengontrol wilayah yang luas. Seiring dengan berkembangnya wilayah kekuasaan yang sangat besar, pengelolaan administrasi menjadi semakin rumit dan sulit. Pengaruh lokal yang kuat di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Persia dan Mesir, mengurangi otoritas kekhalifahan pusat. Selain itu, serangan eksternal yang datang dari luar, terutama invasi Mongol pada 1258 M, yang dipimpin oleh Hulagu Khan, menyebabkan kehancuran total di Baghdad. Peristiwa ini memporakporandakan Dinasti Abbasiyah dan meruntuhkan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang selama ini menjadi kebanggaan dunia Islam. Dinasti Abbasiyah muncul kembali di Kairo pada 1261 dan bertahan hingga 1517 (disebut Kesultanan Mamluk).

Setelah keruntuhan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Dinasti Utsmaniyah (1299-1922 M) melanjutkan tradisi kekhalifahan Islam dengan wilayah yang sangat luas, mencakup sebagian besar wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, dan sebagian Eropa Timur. Di bawah pemerintahan Utsmaniyah, Islam tetap menjadi kekuatan politik dan sosial utama di wilayah tersebut, namun kondisi yang berbeda menyebabkan stagnasi dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini mulai menghadapi masalah besar dalam pengelolaan wilayah yang luas dan beragam, serta ketergantungan pada sistem militer yang semakin usang. Konflik internal, seperti perebutan kekuasaan di dalam keluarga kerajaan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, semakin memperburuk keadaan. Meskipun Dinasti Utsmaniyah berhasil bertahan cukup lama, namun pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul gerakan nasionalisme di berbagai daerah yang menginginkan kemerdekaan dari kekuasaan Utsmaniyah.

Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah menandai berakhirnya sistem politik Islam yang telah bertahan lebih dari 1300 tahun. Faktor internal seperti korupsi, lemahnya administrasi, dan ketertinggalan teknologi membuat kekhalifahan rentan terhadap tekanan eksternal. Perang Dunia I menjadi pukulan terakhir, di mana Utsmaniyah (yang  bersekutu dengan Jerman, Austria-Hungaria dan Bulgaria) kalah dan sebagian wilayahnya beralih ke tangan Perancis (Lebanon, Suriah, Anatolia Selatan), Inggris (Palestina dan Irak) dan Italia (Anatolia pesisir) melalui Perjanjian Sykes-Picot.

Pada 1924, panglima perang dan kemudian pemimpin revolusi Mustafa Kemal AtatĂźrk merobohkan kekhalifahan dan menggantinya dengan Republik Turki yang berbasis sekularisme. Reformasi ini membawa dampak besar pada dunia Islam, menciptakan kekosongan politik yang mempengaruhi ummat Muslim secara global.

4. Dunia Pasca Kekhalifahan dan Gerakan Kebangkitan Negara Islam

Pasca 1924, dunia menyaksikan perubahan besar dalam tatanan global, terutama dengan berakhirnya Kekhalifahan Utsmaniyah dan munculnya negara-negara bangsa modern yang menata-ulang peta geopolitik dunia. Di Barat, kapitalisme menjadi ideologi dominan yang meluas seiring dengan kebangkitan industrialisasi dan ekonomi pasar bebas. Sementara itu, di Timur, komunisme berkembang sebagai alternatif yang berpengaruh, terutama di Uni Soviet dan China. Kedua ideologi ini saling berhadapan dalam Perang Dingin sejak 1950an, yang mempengaruhi banyak negara di seluruh dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah. Di kawasan ini, konflik-konflik geopolitik yang kompleks mulai muncul, seperti masalah Palestina dan perebutan sumber daya minyak, yang terus menjadi pusat ketegangan internasional. Timur Tengah, dengan kekayaan minyaknya, menjadi medan perebutan pengaruh antara kekuatan Barat dan Timur, sementara konflik etnis dan agama semakin memperburuk situasi.

Sementara itu di Asia Tenggara Islam berkembang melalui organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua organisasi ini berfokus pada pendidikan, sosial, dan kesejahteraan umat, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Muhammadiyah, misalnya, berorientasi pada pengembangan masyarakat, dengan mendirikan sekolah-sekolah modern dan rumah sakit. Sedangkan Nahdlatul Ulama, dengan basis pedesaan, lebih menekankan pada pendekatan yang moderat dan toleran terhadap perbedaan dalam praktik beragama. Islam moderat di Asia Tenggara ini menjadi penyeimbang antara konservatisme dan modernitas, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam tanpa harus mengorbankan identitas keagamaan.

Namun, meskipun perkembangan Islam moderat memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan umat, ketidakadilan ekonomi global dan ketegangan ideologi di dunia internasional menimbulkan rasa frustasi yang meluas di kalangan umat Islam. Ketidakmerataan pembangunan antara negara-negara kaya dan miskin, serta dominasi budaya Barat yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam, memicu munculnya gerakan kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia. Gerakan ini tidak hanya terjadi di negara-negara Arab, tetapi juga di Asia, Afrika, dan bahkan Eropa. Umat Islam yang merasa terpinggirkan oleh arus globalisasi mulai mencari alternatif yang dapat mengembalikan kemuliaan dan kejayaan Islam di dunia modern. Gerakan ini berusaha menanggapi krisis identitas dan ketidakadilan sosial-ekonomi dengan penekanan pada penerapan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh, total) dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial.

Gerakan kebangkitan Islam yang paling terkenal adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ikhwanul Muslimin, yang didirikan pada 1928 oleh Hassan al-Banna, mempromosikan penerapan syariat Islam secara bertahap. Gerakan ini mengedepankan peran negara dalam memastikan tegaknya moral dan terciptanya kesejahteraan sosial. Pada 1953 Hizbut Tahrir didirikan di Palestina (yang mulai terjajah oleh Israel yang didukung penuh oleh Eropa-Amerika), menyerukan pembentukan kekhalifahan global yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia di bawah satu pemerintahan yang menjalankan syariat secara menyeluruh. Kedua gerakan ini menekankan pentingnya penerapan hukum Islam dalam kehidupan publik, namun dengan pendekatan yang berbeda —Ikhwanul Muslimin mengutamakan pendekatan bertahap, sementara Hizbut Tahrir mendesak pembentukan negara Islam global secara utuh.

Selanjutnya, Revolusi Iran pada 1979 merupakan gerakan kebangkitan Islam yang berhasil mendirikan “negara Islam” dengan corak Syiah. Revolusi ini dipimpin oleh Ayatollah Khomeini, menciptakan model negara Islam yang berbeda dari yang diterapkan di negara-negara Sunni. Iran menjadi contoh bagi banyak negara yang ingin menggabungkan agama dan politik dalam bentuk pemerintahan yang lebih tegas dalam menerapkan syariat. Namun, meskipun revolusi ini menginspirasi banyak gerakan di dunia Islam, ia juga memunculkan ketegangan dengan negara-negara Barat, serta memperburuk perbedaan internal antara berbagai mazhab Islam, khususnya antara Syiah dan Sunni, yang terus berlanjut hingga saat ini.

Gerakan kebangkitan Islam memang menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan tafsir syariah seperti disebut di atas. Berbagai mazhab dan pandangan dalam Islam seringkali bertentangan satu sama lain, sehingga menyulitkan pembentukan kesatuan yang kokoh dalam menerapkan ajaran Islam di tingkat negara. Selain itu, konflik internal dalam gerakan-gerakan Islam, baik yang berbasis politik maupun ideologi, seringkali mengarah pada kekerasan dan ketidakstabilan. Tekanan internasional juga menjadi faktor besar yang memperburuk kondisi ini, dengan banyak negara Barat yang menentang bentuk pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. Gerakan seperti ISIS, yang mengklaim sebagai pembela negara Islam tapi tercitrakan di media sebagai gerakan yang bengis, memperburuk citra Islam di mata dunia , menciptakan stigma buruk yang menyulitkan gerakan lain untuk memperoleh pengakuan dan dukungan global. Meskipun demikian, di tengah tantangan tersebut, banyak pihak yang terus berupaya untuk menjaga integritas ajaran Islam, yang fokus pada keadilan sosial, kesejahteraan, perdamaian dan keberlanjutan lingkungan.

5. Keunggulan, Harapan dan Peluang Sistem Islam di Masa Depan

Sebagaimana telah disinggung di bagian prinsip-prinsip pemerintahan Islam di atas, sistem Islam menawarkan keunggulan yang unik dibandingkan dengan sistem lain, terutama dalam hal nilai-nilai etika yang mendasari setiap aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Salah satu keunggulan utama sistem Islam adalah penekanan pada keadilan sosial dan kesejahteraan umat, yang tercermin dalam prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Dalam bidang politik, Islam menekankan pentingnya pemerintahan yang adil dan transparan, dengan pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Hal ini tercermin dalam prinsip musyawarah, yang mengharuskan pemimpin untuk berkonsultasi dengan masyarakat dalam mengambil keputusan. Sistem ini bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif, di mana suara setiap warga dihargai, serta kebijakan yang diambil didasarkan pada maslahat (kebaikan bersama), bukan pada kepentingan individu atau kelompok penguasa.

Dalam bidang ekonomi, Islam menawarkan sistem yang lebih adil dengan mengutamakan prinsip distribusi kekayaan. Salah satu instrumen utama dalam sistem ekonomi Islam adalah larangan riba (bunga), yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap pihak yang lemah. Dalam Islam, kegiatan ekonomi yang adil harus melibatkan pembagian risiko yang adil antara pemberi dan penerima modal. Selain itu, sistem zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu, menciptakan mekanisme distribusi kekayaan yang lebih efektif dan berkelanjutan. Zakat (dan infaq, shadaqah serta wakaf) berfungsi untuk mengurangi kesenjangan sosial dengan mengalokasikan sebagian kekayaan untuk membantu yang membutuhkan, termasuk anak yatim, fakir-miskin, dan mereka yang terjerat hutang. Dengan cara ini, sistem ekonomi Islam mendorong redistribusi kekayaan dan memastikan tidak ada kelompok yang terabaikan dalam masyarakat.

Keunggulan sistem Islam juga tampak dalam bidang sosial, di mana Islam mengajarkan pentingnya menjaga harkat individu, keharmonisan keluarga dan solidaritas sosial. Dalam ajaran Islam, masyarakat diharapkan untuk saling membantu dan peduli terhadap kesejahteraan satu sama lain. Konsep ukhuwah (persaudaraan) yang mendalam antara sesama Muslim, serta takaful (solidaritas sosial), mendorong terjalinnya hubungan yang erat antar warga. Dalam konteks ini, Islam menekankan perlunya mendorong pendidikan yang merata, kesempatan yang setara bagi semua individu, serta perlindungan hak-hak dasar setiap orang, terlepas dari status sosial, etnis, atau agama.

Keberlanjutan lingkungan alam adalah aspek penting lain dalam ajaran Islam, yang menekankan tanggung jawab manusia terhadap kelestarian bumi. Islam mengajarkan bahwa alam semesta dan segala isinya adalah ciptaan Allah yang harus dijaga dan dipelihara dengan penuh rasa syukur. Oleh karena itu, pemborosan atau israf dilarang dalam Islam, baik dalam penggunaan sumber daya alam, energi, maupun materi lainnya. Ajaran Islam mendorong umatnya untuk hidup secara sederhana dan tidak berlebihan. Konsep tauhid (keesaan Allah) juga mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi alam secara sembarangan, melainkan harus memanfaatkannya dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, sistem Islam dapat memberikan perspektif yang lebih holistik tentang keberlanjutan alam, di mana pemanfaatan sumber daya dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan ekologis.

Integrasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan modern dapat menjadi solusi bagi tantangan global saat ini. Teknologi modern, bila digunakan dengan bijak, dapat mendukung pencapaian tujuan-tujuan sosial dan ekonomi, seperti pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Suatu negara Islam yang ideal (tapi tidak utopis, pernah terwujud secara nyata sebagaimana digambarkan di bagian awal tulisan ini) dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan ekonomi yang terus berkembang, memiliki peluang untuk menjadi teladan dalam mewujudkan visi ini.

6. Kesimpulan

Model negara Islam yang ideal namun tidak utopis, sebagaimana pernah terwujud pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin sejak tahun 622, mencakup prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, kesetaraan dan musyawarah. Negara Madinah menjadi contoh nyata bagaimana Islam dapat mengatur pemerintahan dengan memperhatikan hak asasi manusia, perlindungan minoritas, kesejahteraan sosial dan kenyamanan/kelestarian lingkungan. Namun, sejarah panjang kekhalifahan Islam, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah dan Utsmaniyah, menunjukkan bahwa meskipun awalnya penuh dengan kemajuan, berbagai faktor internal seperti korupsi dan ketidakmampuan dalam mengelola wilayah yang luas berkontribusi terhadap kemunduran mereka. Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah pada 1924 menjadi titik-balik yang signifikan dalam sejarah politik Islam, mengubah tatanan dunia Islam dan mengarah pada munculnya negara-negara bangsa modern yang sekuler, yang meninggalkan syariat Islam dalam kehidupan negara/masyarakat.

Untuk mewujudkan negara Islam yang ideal di era modern, umat Islam perlu menggali kembali nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Piagam Madinah dan prinsip-prinsip syariat Islam secara menyeluruh, sambil selalu memperbaharui pengetahuannya terhadap kondisi global saat ini. Penerapan prinsip-prinsip Islam yang menekankan pada keadilan sosial, perlindungan minoritas, pemerintahan yang transparan dan demokratis serta menjaga kelestarian alam dapat membantu membangun masyarakat yang adil, sejahtera dan berkelanjutan. Negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, harus membuka ruang untuk diskusi yang konstruktif mengenai penerapan nilai-nilai Islam dalam konteks modern demi mengelola masalah-masalah umat manusia saat ini dan di masa jauh ke depan.

**

Catatan:

Artikel ini dibuat dalam rangka pembelajaran penulis tentang konsep negara Islam, yg sebenarnya di Indonesia sudah diperbincangkan sejak 1920an. Penulisannya dilakukan dengan bantuan AI, dan penulis menyempurnakannya berdasarkan logika dan pengetahuannya sejauh ini yang diperoleh dari buku, internet, webinar maupun pengajian di berbagai tempat. Referensi berikut ini saran dari AI. Readers’ discretions are advised… 😊

Ahmad, M. (2012). Islamic Economics: Theory and Practice. Islamic Research Institute.

Ayoob, M. (2008). The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in the Muslim World. University of Michigan Press.

Esposito, J. L. (1998). Islam: The Straight Path. Oxford University Press.

Fawaz, G. (2009). The Arab Uprisings and the Return of Political Islam. Foreign Affairs.

Fromkin, D. (2001). A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. Holt Paperbacks.

Gerges, F. A. (2016). ISIS: A History. Princeton University Press.

Hourani, A. (1991). A History of the Arab Peoples. Harvard University Press.

Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Simon & Schuster.

Kamali, M. H. (2008). Islamic Law: Theory and Practice. Islamic Texts Society.

Kepel, G. (2002). Jihad: The Trail of Political Islam. Harvard University Press.

Lapidus, I. M. (2002). A History of Islamic Societies. Cambridge University Press.

Mernissi, F. (1991). The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Addison-Wesley.

Moussalli, A. (2015). Radical Islamic Fundamentalism: A Critical Analysis. University of Minnesota Press.

Reid, A. (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680. Yale University Press.

Robinson, G. (2007). The Geopolitics of Islamism: A Case Study of Afghanistan. Middle East Policy.

Zanotti, J. (2011). Islamist Movements in the Middle East. Congressional Research Service.

 

Comments Off on Negara Islam: Model Ideal, Sejarah dan Harapan