Dec 30 2024


Penerapan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Islam: Peluang dan Tantangan

Pendahuluan

Pemerintahan Islam berlangsung di atas prinsip keadilan, musyawarah, dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Dalam sejarah awal Islam (tahun 622 – 661), yakni dari Nabi Muhammad hingga Khalifah Ali, prinsip-prinsip ini dituangkan dalam Piagam Madinah. Prinsip-prinsip diterapkan dalam pemilihan Khalifah Abu Bakar hingga Ali melalui proses syura (musyawarah) dan ijma’ (kesepakatan). Penerapan prinsip-prinsip ini dalam sistem pemerintahan modern, terutama di negara dengan keragaman agama dan budaya seperti Indonesia, menghadapi tantangan yang cukup besar. Artikel ini akan membahas prinsip-prinsip pemerintahan Islam dalam sejarah awal kekhalifahan serta penerapannya dalam konteks politik modern, dengan fokus pada prinsip musyawarah, khilafah, dan tantangan yang dihadapi oleh negara Muslim seperti Indonesia.

1. Piagam Madinah: Konstitusi Pertama dalam Sejarah Manusia

Piagam Madinah, yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 M, dianggap sebagai konstitusi pertama dalam sejarah yang mengatur hubungan antara berbagai kelompok sosial dalam sebuah negara. Piagam ini mengatur kewajiban dan hak setiap kelompok sosial untuk hidup berdampingan dengan damai, serta mengedepankan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap perbedaan. Meskipun tidak mengatur struktur negara secara detail, Piagam Madinah menunjukkan bahwa pemerintahan Islam pada masa awal menekankan pada kedamaian, keadilan, dan keharmonisan antarwarga negara, serta pengaturan hak dan kewajiban yang adil di antara berbagai golongan.

2. Pemilihan Khalifah: Sistem Syura dan Konsultasi

Proses pemilihan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin menunjukkan pentingnya prinsip musyawarah dalam kepemimpinan Islam. Pada masa Abu Bakar, khalifah pertama, pemilihan dilakukan melalui musyawarah para sahabat yang terkemuka. Proses ini juga diteruskan dalam pemilihan khalifah-khalifah berikutnya, seperti Umar bin Khattab, yang dipilih setelah Abu Bakar menunjuk enam orang sahabat untuk memilih penggantinya. Pemilihan khalifah ini mengedepankan prinsip syura, yaitu konsultasi di antara tokoh masyarakat, untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah yang paling kompeten dan sesuai dengan nilai Islam.

3. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan dalam Islam

Dalam Islam, pemimpin harus memiliki integritas moral, kemampuan administratif, serta komitmen untuk menegakkan keadilan sosial dan hukum Allah. Kepemimpinan Islam tidak hanya mengutamakan iman, tetapi juga kelayakan, akal sehat, dan kompetensi. Pemimpin Islam juga harus mampu mengimplementasikan syariat Islam dan memastikan bahwa kepemimpinan yang dijalankan berfokus pada kesejahteraan umat. Di sisi lain, dalam penerapan sistem pemerintahan Islam di era modern, kualitas pemimpin tetap menjadi sorotan utama, meskipun implementasinya perlu memperhatika kondisi sosial dan politik yang ada.

4. Peran Wanita dalam Pemerintahan Islam Awal
Pada masa Khulafaur Rasyidin, wanita juga memiliki peran yang signifikan dalam pemerintahan. Aisyah, istri Nabi Muhammad, misalnya, menjadi penasihat hukum dan politik yang dihormati. Selain itu, Umar bin Khattab juga mengangkat seorang wanita sebagai kepala pasar di Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa tersebut, wanita diberi tempat dalam struktur sosial dan politik yang lebih besar, menghormati prinsip meritokrasi dengan mengangkat individu yang kompeten meskipun dari kalangan yang kurang dihargai dalam masyarakat pada umumnya.

5. Meritokrasi dalam Pemilihan Pejabat dan Kualitas Pemimpin
Pemerintahan Islam awal juga menekankan meritokrasi, mengangkat individu yang memiliki kualitas dan kompetensi meskipun mereka masih muda atau perempuan. Sebagai contoh, Usama bin Zayd diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai panglima pasukan pada usia 18 tahun. Pemilihan ini menunjukkan bahwa usia dan status sosial tidak menjadi faktor utama dalam penunjukan pemimpin, melainkan kemampuan dan kualifikasi mereka yang lebih diprioritaskan.

6. Penerapan Sistem Khilafah dan Musyawarah dalam Dunia Modern

Penerapan sistem pemerintahan Islam di era modern, terutama dalam bentuk khilafah atau musyawarah, telah menjadi topik yang banyak diperdebatkan. Negara-negara seperti Arab Saudi, Oman, dan Brunei mengklaim mengklaim sebagai negara Islam, namun apakah sistem monarkhie atau dinasti yg mereka terapkan bertentangan dengan prinsip Islam. Apalagi terkesan bahwa keluarga raja tidak tersentuh hukum, yang berarti tidak ada keadilan dan kesetaraan. Beberapa pihak berpendapat bahwa negara sebagaimana berlangsung pada masa awal Islam di atas bentuk pemerintahan yang ideal bagi umat manusia seluruh dunia, sementara yang lain berpendapat bahwa konsep khilafah sulit diterapkan di dunia modern yang kompleks.

Pada era negara Islam awal, musyawarah dijalankan oleh para sahabat yang dianggap sebagai tokoh utama. Di negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan beragam latar belakangnya, musyawarah harus dilakukan melalui sistem perwakilan. Di Indonesia, demokrasi memungkinkan partisipasi masyarakat melalui pemilihan umum, di mana warga negara memilih pemimpin mereka secara langsung. Hanya saja, kelemahan pemilihan langsung ini adalah adanya money politics, di mana akhirnya banyak orang dapat menjadi pemimpi karena mereka membeli suara, bukan karena kompetensinya. Karena itu setelah orang-orang ini menjadi pejabat atau pemimpin, prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan sangatlah relevan. Dan musyawarah atau konsultasi ini haruslah melibatkan berbagai elemen masyarakat secara transparan, agar kebijakan dibuat untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya kepentingan para pejabat atau pemimpin dan kelompok mereka saja.

7. Tantangan Penerapan Sistem Pemerintahan Islam

Sebagai negara dengan keberagaman agama dan budaya, tantangan utama pemerintahan di negara majemik seperti Indonesia adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk minoritas. Sebenarnya Islam sebagaiamana telah disebut di atas, menjamin hak-hak kaum minoritas, dan ini bukan hanya prinsip atau ajaran, tapi sudah pernah dipraktikkan pada masa Nabi dan para khalifah sesudahnya. Jadi sebenarnya prinsip-prinsip pemerintahan Islam bersesuaian sepenuhnya dengan gagasan hak asasi manusia dan demokrasi pada umumnya. Namun keinginan mendirikan negara Islam seringkali menemui hambatan, bahkan di negara-negara mayoritas Muslim, karena berbagai alasan yang bersifat historis, politis, sosial, dan filosofis. Berikut beberapa alasan utama:

a.      Interpretasi beragam tentang negara Islam

Konsep negara Islam tidak memiliki definisi tunggal yang disepakati oleh seluruh umat Islam. Beberapa mengaitkannya dengan penerapan syariah secara menyeluruh, sementara yang lain menekankan berlangsungnya prinsip keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umat. Perbedaan interpretasi ini sering memicu perdebatan, sehingga sulit menyatukan visi untuk mendirikan negara Islam.

b.      Dinamika politik di negara muslim

Banyak negara Muslim memiliki sistem pemerintahan yang berakar dari kolonialisme atau sistem modern yang tidak berbasis Islam. Penguasa di negara-negara ini sering memprioritaskan stabilitas politik dan kepentingan pragmatis daripada membentuk negara berbasis Islam, yang sering dianggap dapat memicu konflik ideologis.

c.       Kritik terhadap praktik “negara Islam

Beberapa negara yang mengklaim sebagai negara Islam, seperti Arab Saudi atau Iran, menghadapi kritik atas pelanggaran hak asasi manusia, otoritarianisme, atau eksklusivisme ideologis. Pengalaman ini membuat sebagian umat Islam skeptis terhadap model negara Islam karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kebebasan. Jadi, model ideal yang pernah dipraktikkan ratusan tahun sebelumnya dicederai oleh negara yang mengkalim Islam tapi praktik sebenarnya malah melanggar prinsip Islam.

d.      Isu kepercayaan terhadap organisasi atau gerakan Islam

Keinginan mendirikan negara Islam sering kali diasosiasikan dengan gerakan-gerakan tertentu yang tidak selalu memiliki dukungan luas. Faktor ketidakpercayaan terhadap aktor-aktor politik yang mengusung agenda negara Islam juga turut memengaruhi penerimaannya. Karena itu diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif dan massif tentang Islam yang menyeluruh dan sebenar-benarnya.

Kesimpulan

Pemerintahan Islam mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, dan kepemimpinan yang berintegritas. Prinsip-prinsip ini sangat relevan dan dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan politik yang adil dan inklusif. Pemerintahan pada masa awal kekhalifahan Islam, yang menggabungkan prinsip-prinsip syura, ijma’, keadilan sosial, dan meritokrasi, dapat dijadikan dasar untuk menciptakan sistem pemerintahan yang adil dan partisipatif dalam era modern. Namun, pembentukan negara Islam yang sebenar-benarnya menghadapi tantangan/hambatan dari negara-negara Muslim sendiri, yang hanya dapat diselesaikan dengan sosialisasi dan edukasi yang komprehensif dan intensif. Meluasnya penerimaan terhadap ekonomi Syariah, termasuk halal foods, hotel dan wisata Syariah, dan diterapkannya hukum pernikahan, perceraian, dan warisan, kiranya memberikan harapan yang cerah bagi penerimaan terhadap sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh. **

Note:

Sepertinya ini saya tulis dg bantuan AI, beberapa hari setelah mengikuti webinar ANNProses Pemilihan Pemimpin Dalam Daulah Islam, bersama: Prof. Fahmi Amhar (BRIN), Prof. Hanif Nurcholis (UT), Wahyu Triono, MAP (Unas), Kamis 5 Des 2024 jam 19.30 wib”.

Comments Off on Penerapan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Islam: Peluang dan Tantangan